Pesan Buku

Untuk pemesanan buku langsung hub >>
Email : aditamacrb@gmail.com /
Whatsapp : 082119801010
Pengiriman luar kota menggunakan JNE / Tiki / Pos
(No. Resi segera dikirim kepada pemesan)

★ Abdi Dari Hati


Abdi Dari Hati

Berjalan gontai, kuperhatikan dari jauh. Dengan memakai seragam besi berwarna cokelat-cokelat kebanggannya, seorang perempuan tua yang biasa disebut Ibu Guru Ina memasuki sebuah ruang kelas berukuran 7x8 meter. Senyumnya tetap terlihat tatkala memasuki ruangan itu, Ia menyapa teman-teman seprofesinya. Saling menyapa, bersalaman, kemudian duduk di kursi siswa yang mulai rapuh karena waktu.

Tak berapa lama, seorang panitia acara mendampingi kepala UPT dan beberapa orang Pengawas datang, duduk di depan membuka acara ‘Sosialisasi Kurikulum’ judulnya. Sebagian besar dari peserta yang hadir saat itu adalah guru senior, usianya hampir tak beda jauh dengan usia Ibu Ina, sebagian lagi mungkin sekitar 35 persen diikuti oleh guru-guru muda yang masih terlihat bersemangat, mengikuti dan menyampaikan ide atau pesona kreasinya.

Aku termasuk seorang guru junior yang mengikuti kegiatan itu. Kegiatan sosialisasi yang berlangsung lima hari dari senin hingga jum’at, mulai pukul 08.00 – 17.00 wib. Sebagai tenaga honorer yang baru beberapa tahun, seringkali aku mendapat kesempatan untuk ikut hadir dalam setiap kegiatan yang diadakan. Baik oleh Gugus KKG, UPT, hingga Dinas Pendidikan setempat. Dari sana aku dapat belajar lebih dalam lagi tentang ilmu pendidikan dan keguruanku.
Tapi, ada satu hal yang menarik untukku, satu hal yang membuatku kagum sekaligus merasa miris. Hal yang akan aku ceritakan di sini.

Berada dalam ruang kelas sebagai peserta bersama para guru lainnya, mendengarkan sambutan pembuka dari mereka yang duduk di depan kami semua. Entah apa yang ada dalam kepalaku, anganku tertuju pada hal lain kala itu. Kuperhatikan dengan sangat tiap wajah peserta, di mana kebanyakan adalah guru yang mungkin menyisakan satu, dua tahun atau mungkin hanya beberapa bulan lagi akan pensiun, tetapi masih mengikuti kegiatan dengan sepenuh hati dan sisa energinya. Kulihat tatap senyum mereka menghiasi kulit keriputnya, menggambarkan jelas pengalaman baktinya untuk ibu pertiwi. Empati kagumku tergugah, di sisi lain muncul pertanyaan, apakah mereka masih akan mampu menyerap apa yang disampaikan?
Apakah mereka masih sangup untuk mengikuti perubahan demi perubahan sistem dan zaman?
Apakah mereka ….. ?

Acara dilanjutkan dengan pemberian materi, hampir sama ketika aku kuliah dulu atau mengikuti seminar. Mendengarkan nara sumber menyampaikan apa yang sudah dikonsepnya. Menambahkan sedikit penjelasan dan memberikan sesekali contoh penerapan, lebih banyak melihat apa yang tertuang dalam layar power point yang terpampang. Aku masih saja terus berfikir apakah mereka …. ? Bagaimana mereka … ?

Sungguh, pertanyaan yang kemudian berbaur menjadi sesuatu yang terfikirkan olehku. Aku merasa sistem tidaklah salah, yang terpenting adalah memberikan dan menyampaikan kepada seluruh elemen yang tergabung di dalamnya. Di balik itu, sistem mungkin saja salah, tidak tepat sasaran mungkin. Menurutku mereka yang sudah hampir mencapai garis akhir pengabdiannya tidak perlu lagi mengikuti kegiatan yang menambah beban mereka. Pengabdian yang telah mereka lalui sudah sangat luar biasa hebat, mereka tidak membutuhkan lagi program-program inovasi sesuai perkembangan dan perubahan zaman. Masih menjalankan tugas seperti biasanya saja sudah sangat menginspirasi dan harus di apresiasi dengan seluruh jiwa.

Siang hari berikutnya, seperti dugaanku. Ketika memasuki sesi pemberian dan pengerjaan tugas, sebagian besar, bahkan mungkin semua dari mereka menyerahkan kepada kami yang masih muda, masih bau kencur. Termasuk aku. Sebenarnya tidak ada masalah, karena memang pasti seperti itu, kami semua pun mengerti. Masalahnya adalah kembali pada pertanyaanku, bisa jadi sistem yang terprogram ini memang salah sasaran, sementara sistem sendiri harus berjalan untuk seluruhnya. Tanpa terkecuali!

Terdengar suara rintih “Ibu mah kumaha Neng wae.” Seorang guru senior sekelompok denganku berbicara. Dengan tersenyum kecil aku membalas, “Iya Bu.” Selanjutnya Ibu Ita nama guru senior itu melemparkan senyum puasnya, matanya tetap memperhatikan apa yang kami kerjakan. Ibu Ina berada di sampingnya ikut memperhatikan dan membantu membuat garis di kertas folio kosong. Sambil tetap mengerakan tugas, kulihat raut wajah mereka, penuh harap agar tugas kami segera selesai dan tidak tertinggal.

Seminggu telah berlalu, pelatihan telah usai. Pagi hari ini Bu Ina kembali ke rutinitasnya, mengajar, mendidik siswa-siswinya, memberikan bekal ilmu pengetahuan, keterampilan serta sikap yang tentu saja akan terus berguna bagi masa depan anak didiknya.
Baru saja datang melangkah gerbang sekolah, siswanya sudah berteriak, berlari memanggil “Ibu Ina, Ibu Ina, Assalamualaikum Bu, Selamat Pagi.” Berbondong-bondong berebut bersalaman dengan guru kesayangannya. Dengan senyuman khasnya Bu Ina membalas salam mereka dengan menyambut salam dari tangan mungil murid-muridnya. “Waalaikumsalam, selamat pagi anak-anak.” “Bu, hari ini kita akan belajar apa? Bu, kita akan mengerjakan latihan matematika lagi kan? Bu, kapan kita belajar membuat cerita binatang lagi?” Terdengar antusias para siswa, percis ketika mereka merengek meminta mainan baru kepada orang tuanya. Dengan sabarnya Ibu Ina membalas semua pertanyaan penasaran dari mereka.“Iya sayang, nanti kita belajar semuanya agar kita menjadi orang yang pintar, orang yang berguna untuk keluarga, bangsa, dan negara. Nah, itu suara bel sudah terdengar, mari semuanya sekarang baris dulu di depan kelas.” Tak lama murid-murid itu mengikuti perkataan gurunya, membentuk barisan rapih untuk masuk ke dalam kelas.

Jadwalku kosong saat itu, anak-anak sedang berolahraga di lapangan sekolah. Aku duduk di bawah pohon mangga memperhatikan tawa ceria siswa ketika berlarian saling mengejar dan menghindar dalam permainan bola kecil. Di sudut lain, terlihat Ibu Ina membawa siswanya ke luar kelas, membimbing muridnya mencari benda yang berasal dari kayu, karet, dan kaca. Dengan senyum yang tak terhenti, kupandangi aktivitas mereka. Indah rasanya melihat anak-anak belajar dengan semangat yang tergugah, terus berkembang, pesat, semakin tinggi. Terkagum kuperhatikan Bu Ina, Ia masih menjadi guru yang menginspirasi. Tidak hanya bagi siswanya, tapi juga bagiku atau mungkin bagi guru lain dan orang-orang di sekitarnya.

Disela kegiatannya, Ibu Ina menghampiriku dan bertanya, “Neng, Nanti berangkat UKGnya bareng ya. Ibu sudah baca-baca materi semalam tapi tidak tahu akan bisa atau tidak mengikuti test nanti. Bismillah saja Ibu mah, Neng.”
“Iya bu, nanti berangkatnya bareng, kebetulan tempat test UKGnya sama dan masih satu ruangan. Iya Bu bismillah saja, pasti bisa. Pasti selesai semuanya.” Balasku dengan senyuman, mencoba menyakinkannya. Ibu Ina hanya membalas jawabanku dengan senyum khasnya. Dalam hati aku tahu apa yang ia fikirkan, ia merasa khawatir jika tidak bisa menyelesaikan soal test UKG yang akan datang. Ia khawatir, cemasnya itu akan berdampak kepada kariernya terutama mengenai tunjangan yang ia dapat.
Pertanyaanku beberapa waktu lalu kembali muncul, siapa yang salah dalam hal ini? Sistem kah atau guru yang sudah berusia di atas 56 tahun dan hampir pensiun? Aku belum dapat jawabannya hingga kini. Bagaimanapun hasilnya nanti, untukku, Ibu Ina tetap telah memberikan yang terbaik semampu yang ia mampu, sebisa yang ia bisa.

Sudah tiga tahun aku berada di sini, menjadi tenaga honorer. Satu sekolah dengan Ibu Ina. Selama itu juga aku terus melihat pengabdian tulusnya, mengajarkan apa yang di sebut dengan kasih sayang, kelembutan, hati nurani. Sabarnya benar-benar terbukti dan teruji. Ibu Ina selalu menjadi guru favorit siswa-siswi di sekolah kami. Tak kutemui satu hari pun ia mengeluh, baik itu mengenai pekerjaannya ataupun keadaan di rumahnya. Sangat profesional menurutku. Ia hanya melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya sepenuh hatinya, sekuat tenaganya. Selalu berutur dengan penuh keramahan, senyum. Mengerti kepada kami yang lebih muda dan tampil sangat sederhana layaknya guru-guru di masa lalu yang tergambarkan lewat lagu.

Dalam hati kecil aku berdoa “Semoga aku bisa menjadi sepertinya. Dengan segenap energi yang aku punya. Aku ingin mengajar dengan hati, memberikan yang terbaik untuk peserta didikku. Siswa-siswi yang akan berganti menjadi pemuda-pemudi kebanggaan keluarga dan bangsanya. Aku ingin menjadi seorang pendidik yang bisa terus berkarya, memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap budi pekerti luhur yang sesuai dengan karakter bangsa yang terus menerus pada tiap angkatan. Pada tiap generasi! Mungkin ini adalah panggilan semesta, bukti abdi kecilku untuk ibu pertiwi. Semoga. Aamiin.”

Ibu Ina, di usianya yang semakin lanjut, semangatnya tidak pernah padam, loyalitasnya tidak pernah pudar, tak berkurang, pengabdiannya terus berjalan, tanpa henti. Dengan penuh rasa cinta yang di milikinya, Setiap hari ia rela berjalan kaki ratusan meter menuju sekolah melewati jalanan kecil berkerikil untuk membagikan ilmu pada siswanya. Senyumnya selalu merekah tanpa mengenal musim. Sepanjang masa, bahkan hingga nanti jika ia telah tiada. Abadi, selamanya!
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa (Pembangun insan cendikia)
(Hymne Guru – Sartono)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  GAMBARAN DIRI GURU PENGGERAK TIGA TAHUN KE DEPAN   Jika disederhanakan dalam dua kata saya ingin terus BELAJAR dan BERBAGI.   As...