Abdi
Dari Hati
Berjalan
gontai, kuperhatikan dari jauh. Dengan memakai seragam besi berwarna
cokelat-cokelat kebanggannya, seorang perempuan tua yang biasa disebut Ibu Guru
Ina memasuki sebuah ruang kelas berukuran 7x8 meter. Senyumnya tetap terlihat
tatkala memasuki ruangan itu, Ia menyapa teman-teman seprofesinya. Saling
menyapa, bersalaman, kemudian duduk di kursi siswa yang mulai rapuh karena
waktu.
Tak
berapa lama, seorang panitia acara mendampingi kepala UPT dan beberapa orang
Pengawas datang, duduk di depan membuka acara ‘Sosialisasi Kurikulum’ judulnya.
Sebagian besar dari peserta yang hadir saat itu adalah guru senior, usianya
hampir tak beda jauh dengan usia Ibu Ina, sebagian lagi mungkin sekitar 35
persen diikuti oleh guru-guru muda yang masih terlihat bersemangat, mengikuti
dan menyampaikan ide atau pesona kreasinya.
Aku termasuk seorang
guru junior yang mengikuti kegiatan itu. Kegiatan sosialisasi yang berlangsung
lima hari dari senin hingga jum’at, mulai pukul 08.00 – 17.00 wib. Sebagai
tenaga honorer yang baru beberapa tahun, seringkali aku mendapat kesempatan
untuk ikut hadir dalam setiap kegiatan yang diadakan. Baik oleh Gugus KKG, UPT,
hingga Dinas Pendidikan setempat. Dari sana aku dapat belajar lebih dalam lagi
tentang ilmu pendidikan dan keguruanku.
Tapi,
ada satu hal yang menarik untukku, satu hal yang membuatku kagum sekaligus
merasa miris. Hal yang akan aku ceritakan di sini.
Berada dalam ruang
kelas sebagai peserta bersama para guru lainnya, mendengarkan sambutan pembuka
dari mereka yang duduk di depan kami semua. Entah apa yang ada dalam kepalaku,
anganku tertuju pada hal lain kala itu. Kuperhatikan dengan sangat tiap wajah
peserta, di mana kebanyakan adalah guru yang mungkin menyisakan satu, dua tahun
atau mungkin hanya beberapa bulan lagi akan pensiun, tetapi masih mengikuti
kegiatan dengan sepenuh hati dan sisa energinya. Kulihat tatap senyum mereka
menghiasi kulit keriputnya, menggambarkan jelas pengalaman baktinya untuk ibu
pertiwi. Empati kagumku tergugah, di sisi lain muncul pertanyaan, apakah mereka
masih akan mampu menyerap apa yang disampaikan?
Apakah mereka masih sangup untuk
mengikuti perubahan demi perubahan sistem dan zaman?
Apakah
mereka ….. ?
Acara
dilanjutkan dengan pemberian materi, hampir sama ketika aku kuliah dulu atau
mengikuti seminar. Mendengarkan nara sumber menyampaikan apa yang sudah
dikonsepnya. Menambahkan sedikit penjelasan dan memberikan sesekali contoh
penerapan, lebih banyak melihat apa yang tertuang dalam layar power point yang
terpampang. Aku masih saja terus berfikir apakah mereka …. ? Bagaimana mereka …
?
Sungguh,
pertanyaan yang kemudian berbaur menjadi sesuatu yang terfikirkan olehku. Aku
merasa sistem tidaklah salah, yang terpenting adalah memberikan dan
menyampaikan kepada seluruh elemen yang tergabung di dalamnya. Di balik itu,
sistem mungkin saja salah, tidak tepat sasaran mungkin. Menurutku mereka yang
sudah hampir mencapai garis akhir pengabdiannya tidak perlu lagi mengikuti
kegiatan yang menambah beban mereka. Pengabdian yang telah mereka lalui sudah
sangat luar biasa hebat, mereka tidak membutuhkan lagi program-program inovasi
sesuai perkembangan dan perubahan zaman. Masih menjalankan tugas seperti
biasanya saja sudah sangat menginspirasi dan harus di apresiasi dengan seluruh
jiwa.
Siang
hari berikutnya, seperti dugaanku. Ketika memasuki sesi pemberian dan
pengerjaan tugas, sebagian besar, bahkan mungkin semua dari mereka menyerahkan
kepada kami yang masih muda, masih bau kencur. Termasuk aku. Sebenarnya tidak
ada masalah, karena memang pasti seperti itu, kami semua pun mengerti. Masalahnya
adalah kembali pada pertanyaanku, bisa jadi sistem yang terprogram ini memang
salah sasaran, sementara sistem sendiri harus berjalan untuk seluruhnya. Tanpa
terkecuali!
Terdengar
suara rintih “Ibu mah kumaha Neng wae.” Seorang guru senior sekelompok denganku
berbicara. Dengan tersenyum kecil aku membalas, “Iya Bu.” Selanjutnya Ibu Ita
nama guru senior itu melemparkan senyum puasnya, matanya tetap memperhatikan
apa yang kami kerjakan. Ibu Ina berada di sampingnya ikut memperhatikan dan
membantu membuat garis di kertas folio kosong. Sambil tetap mengerakan tugas,
kulihat raut wajah mereka, penuh harap agar tugas kami segera selesai dan tidak
tertinggal.
Seminggu telah berlalu,
pelatihan telah usai. Pagi hari ini Bu Ina kembali ke rutinitasnya, mengajar,
mendidik siswa-siswinya, memberikan bekal ilmu pengetahuan, keterampilan serta sikap
yang tentu saja akan terus berguna bagi masa depan anak didiknya.
Baru
saja datang melangkah gerbang sekolah, siswanya sudah berteriak, berlari memanggil
“Ibu Ina, Ibu Ina, Assalamualaikum Bu, Selamat Pagi.” Berbondong-bondong
berebut bersalaman dengan guru kesayangannya. Dengan senyuman khasnya Bu Ina
membalas salam mereka dengan menyambut salam dari tangan mungil murid-muridnya.
“Waalaikumsalam, selamat pagi anak-anak.” “Bu, hari ini kita akan belajar apa?
Bu, kita akan mengerjakan latihan matematika lagi kan? Bu, kapan kita belajar
membuat cerita binatang lagi?” Terdengar antusias para siswa, percis ketika
mereka merengek meminta mainan baru kepada orang tuanya. Dengan sabarnya Ibu
Ina membalas semua pertanyaan penasaran dari mereka.“Iya sayang, nanti kita
belajar semuanya agar kita menjadi orang yang pintar, orang yang berguna untuk
keluarga, bangsa, dan negara. Nah, itu suara bel sudah terdengar, mari semuanya
sekarang baris dulu di depan kelas.” Tak lama murid-murid itu mengikuti
perkataan gurunya, membentuk barisan rapih untuk masuk ke dalam kelas.
Jadwalku
kosong saat itu, anak-anak sedang berolahraga di lapangan sekolah. Aku duduk di
bawah pohon mangga memperhatikan tawa ceria siswa ketika berlarian saling
mengejar dan menghindar dalam permainan bola kecil. Di sudut lain, terlihat Ibu
Ina membawa siswanya ke luar kelas, membimbing muridnya mencari benda yang
berasal dari kayu, karet, dan kaca. Dengan senyum yang tak terhenti, kupandangi
aktivitas mereka. Indah rasanya melihat anak-anak belajar dengan semangat yang
tergugah, terus berkembang, pesat, semakin tinggi. Terkagum kuperhatikan Bu Ina,
Ia masih menjadi guru yang menginspirasi. Tidak hanya bagi siswanya, tapi juga
bagiku atau mungkin bagi guru lain dan orang-orang di sekitarnya.
Disela kegiatannya, Ibu
Ina menghampiriku dan bertanya, “Neng, Nanti berangkat UKGnya bareng ya. Ibu
sudah baca-baca materi semalam tapi tidak tahu akan bisa atau tidak mengikuti
test nanti. Bismillah saja Ibu mah, Neng.”
“Iya bu, nanti berangkatnya bareng,
kebetulan tempat test UKGnya sama dan masih satu ruangan. Iya Bu bismillah
saja, pasti bisa. Pasti selesai semuanya.” Balasku dengan senyuman, mencoba
menyakinkannya. Ibu Ina hanya membalas jawabanku dengan senyum khasnya. Dalam
hati aku tahu apa yang ia fikirkan, ia merasa khawatir jika tidak bisa
menyelesaikan soal test UKG yang akan datang. Ia khawatir, cemasnya itu akan
berdampak kepada kariernya terutama mengenai tunjangan yang ia dapat.
Pertanyaanku
beberapa waktu lalu kembali muncul, siapa yang salah dalam hal ini? Sistem kah
atau guru yang sudah berusia di atas 56 tahun dan hampir pensiun? Aku belum dapat
jawabannya hingga kini. Bagaimanapun hasilnya nanti, untukku, Ibu Ina tetap
telah memberikan yang terbaik semampu yang ia mampu, sebisa yang ia bisa.
Sudah
tiga tahun aku berada di sini, menjadi tenaga honorer. Satu sekolah dengan Ibu
Ina. Selama itu juga aku terus melihat pengabdian tulusnya, mengajarkan apa
yang di sebut dengan kasih sayang, kelembutan, hati nurani. Sabarnya
benar-benar terbukti dan teruji. Ibu Ina selalu menjadi guru favorit
siswa-siswi di sekolah kami. Tak kutemui satu hari pun ia mengeluh, baik itu
mengenai pekerjaannya ataupun keadaan di rumahnya. Sangat profesional
menurutku. Ia hanya melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya sepenuh hatinya,
sekuat tenaganya. Selalu berutur dengan penuh keramahan, senyum. Mengerti
kepada kami yang lebih muda dan tampil sangat sederhana layaknya guru-guru di
masa lalu yang tergambarkan lewat lagu.
Dalam
hati kecil aku berdoa “Semoga aku bisa menjadi sepertinya. Dengan segenap
energi yang aku punya. Aku ingin mengajar dengan hati, memberikan yang terbaik
untuk peserta didikku. Siswa-siswi yang akan berganti menjadi pemuda-pemudi
kebanggaan keluarga dan bangsanya. Aku ingin menjadi seorang pendidik yang bisa
terus berkarya, memberikan ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap budi pekerti
luhur yang sesuai dengan karakter bangsa yang terus menerus pada tiap angkatan.
Pada tiap generasi! Mungkin ini adalah panggilan semesta, bukti abdi kecilku
untuk ibu pertiwi. Semoga. Aamiin.”
Ibu Ina, di usianya yang semakin lanjut,
semangatnya tidak pernah padam, loyalitasnya tidak pernah pudar, tak berkurang,
pengabdiannya terus berjalan, tanpa henti. Dengan penuh rasa cinta yang di
milikinya, Setiap hari ia rela berjalan kaki ratusan meter menuju sekolah
melewati jalanan kecil berkerikil untuk membagikan ilmu pada siswanya.
Senyumnya selalu merekah tanpa mengenal musim. Sepanjang masa, bahkan hingga
nanti jika ia telah tiada. Abadi, selamanya!
Terpujilah
wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa (Pembangun insan cendikia)
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa (Pembangun insan cendikia)
(Hymne
Guru – Sartono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar