DARI DAN UNTUK KELUARGA
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
(Lirik lagu Keluarga
Cemara – Novia Kolopaking)
Penggalan
lirik indah biasa terdengar dan terlihat di layar kaca pada era 90-an. Lirik di
atas menyampaikan pesan spesial di mana keluarga menjadi tempat awal saat kita
berjuang dan stasiun akhir tujuan saat kita pulang. Lirik tersebut menjadi
bagian pembuka dan penutup sinetron berjudul Keluarga Cemara. Sebuah sinetron
yang mampu menghipnotis pengemarnya untuk larut ketika menyaksikan episode demi
episode yang ditayangkan selama kurun waktu lebih dari 8 tahun. Sinetron ini
berkisah tentang kehidupan keluarga sederhana dengan segala harmonisasi,
dinamika dan romantikanya. Pola hidup sederhana yang berhasil membuat kekayaan
hati, ketulusan budi pekerti menjadi harta yang sangat berharga. Kesederhanaan
yang akhirnya menjadi pedoman hidup bahwa bahagia berawal, berakhir, dari dan
untuk keluarga.
Berbeda
dengan Keluarga Cemara, Dave Pelzer seorang penulis sekaligus motivator dunia
yang telah mendapat segudang penghargaan menuliskan kisah kecilnya penuh dengan
keharuan, kesuraman, kekerasan, serta ketakutan yang bersumber dari kegelapan
jiwa. Dalam buku A Child Called It, sebuah buku best seller international yang sangat menggugah hati. Dave
menuturkan perjalanan masa kecilnya untuk bertahan hidup setelah bertahun-tahun
mendapat perlakuan senonoh, ketidakadilan, juga kekejaman yang dilakukan oleh
Ibunya sendiri.
Dave menjelaskan
semuanya dengan begitu rinci, mengajak pembaca untuk hanyut merasakan
kesendiriannya, rasa sakitnya, rasa takutnya, kekalahan dan kemarahannya. Pengalaman
masa kecil yang penuh dengan tarikan dan dorongan ke segala arah hingga memacu
emosi siapa saja yang membacanya. Pengalaman saat ia hendak dibakar, saat ia
sengaja diracun, saat ia harus makan dari sisa-sisa makanan anjing peliharaan
keluarganya, saat ia harus mengorek keranjang sampah hanya untuk mencari sisa
makanan keluarga yang telah dibuang, saat seluruh tubuhnya membiru, kulitnya
mengelupas dan bernanah karena luka hasil pukulan Ibunya yang terus menerus
setiap hari sejak ia berusia 4 hingga 12 tahun. Dengan kondisi tidak berdaya, Dave
kecil hanya bisa menangis tanpa pertolongan. Ayahnya yang diharapkan menjadi pahlawan
penolong hanya diam lalu memilih mabuk menyaksikan Dave mendapat perlakuan yang
begitu kejam, pun begitu dengan semua adiknya, mereka ikut menertawakan Dave
yang sekarat. Di sekolah, Dave tidak memiliki satu pun teman karena pakaiannya
yang hanya satu, kucel, kotor, dan bau. Ia juga sering kali terpaksa mencuri
makanan milik teman-temannya hanya untuk hidup, karena tidak diberi makan,
karena kelaparan. Tidak jarang Ia merelakan diri saat Ibunya memukul
berkali-kali, mendaratkan kepalan tinju ke tubuh mungilnya demi mendapat bonus
sisa-sisa makanan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Mulutnya terkunci
rapat. Dave hanya diam saat semua orang mengejek, mencemoohnya. Ia pun tidak
pernah bercerita jikalau ditanya oleh gurunya. Takut, hanya ketakutan yang
selalu ada dalam fikirannya. Takut jika sampai ibunya tahu, ia akan dibantai
lebih sadis lagi. Beruntung keteguhan hati serta kuatnya tekad untuk hidup
membuat Dave bisa bertahan sampai pada harapan terakhirnya. Harapan yang ia
jadikan modal, pengalaman, pembelajaran hingga membuatnya sukses di kemudian
hari.
Berkaca dari dua kisah
di atas, keluarga merupakan pondasi dasar pertama dan utama yang sangat
berperan dalam pembentukan karakter serta pendidikan seseorang. Sering kita
dengar, seorang anak yang terlahir dari keluarga berada, tanpa kekurangan satu
hal pun kadang terjebak dalam fana kehidupan akibat kurangnya perhatian dan
kasih sayang orang tua. Mereka memilih untuk hidup bebas, egois, sulit diatur,
anarkis bahkan tidak sedikit yang terjerumus pada narkotika ataupun free sex. Dampak negatif globalisasi
melekat erat dalam kehidupan mereka.
Uang yang tak terhitung
jumlahnya, kendaraan mewah yang silih berganti tidak mampu menggantikan
kebahagaian yang dicari. Orang tua yang terlalu sibuk dengan urusannya
masing-masing. Kantor, bisnis, karir dengan jadwal yang begitu padat membuat
mereka kehabisan waktu luang untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Hal ini
tentu berdampak, adanya kecanggungan dalam keluarga. Jangankan berbicara,
sekedar menyapa saja mungkin terlewat. Pagi hari semua berlari pada aktivitas
dan rutinitasnya, sedangkan larut malam mereka baru kembali saat anak-anaknya
sudah terlelap. Jikalau ada waktu bersama, mungkin hanya beberapa menit saat
sarapan keluarga, itu juga saling meninggikan ego yang menyebabkan semakin
terbentangnya jarak harmonis.
Kisah Keluarga Cemara
mengajarkan bahwa bahagia itu sederhana. Menjalankan hidup apa adanya, berusaha
menjalin, membangun komunikasi setiap hari dengan keluarga, saling terbuka,
bercerita, berbagi kasih, kisah, sedih, senang, tangis dan tawa bersama. Menghargai,
menghormati juga menjaga satu sama lain. Kesulitan hidup karena kurangnya ekonomi
terasa hilang dengan senyuman-senyuman manis yang bertebaran dalam rumah
mungil. Hanya indah yang ada! Rasa bahagia menyelimuti, bercampur menjadi
simponi harmoni yang selalu hadir dan menetap di sana.
Dalam cerita kedua, di
mana Dave Pelzer, seorang lelaki korban child
abuse yang pernah dianugerahi pujian pribadi oleh dua mantan Presiden
Amerika Ronald Reagan dan George Bush mengajarkan kita bahwa dukungan orang tua
sangat berarti demi keberlangsungan hidup anaknya. Untuk menjaga harapan, api
semangat anak tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya. Dave hanya satu dari
ribuan kisah nyata yang beruntung karena bisa lepas, kemudian bangkit dari
bayang-bayang kelam masa lalunya. Tidak jarang kita saksikan seorang anak usia
balita ataupun bayi yang masih merah sengaja dibuang, ditelantarkan, disiksa,
lebih kejam lagi dibunuh oleh orang tua kandungnya. Banyak hal yang menjadi
penyebab, bisa karena faktor ekonomi, hubungan gelap yang belum sah secara
agama, cemburu dan lain sebagainya.
Era disrupsi, era global
dengan segala percepatannya ini, kita masih sering menyaksikan kebiadaban
terhadap anak-anak. Seperti kembali pada zaman jahiliyah, atau zaman
diskriminasi ketika orang berkulit hitam tidak memiliki hak asasi untuk hidup,
darahnya halal bagi orang berkulit putih. Kisah Dave Pelzer, lelaki yang pernah
membawa api Olimpiade 1996 sebagai cermin kegigihan semangat yang tak pernah
padam memberi kita pencerahan, sejatinya kehangatan yang terjadi dalam keluarga
adalah impian di puncak tangga yang selalu didambakan setiap anak, setiap
orang, dan setiap dari kita.
Dari sepotong kisah di
atas, semoga rasa rindu yang menggebu pada hangatnya keluarga bergentayangan
dalam ingatan, menjalar, meresap erat dalam titik sanubari, menghantui alam
sadar dan bawah sadar untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka, individu yang
terus berusaha menjadi bagian terbaik dalam keluarga. Bukankah apapun bentuk
perjuangan yang kita lakukan semata-mata untuk keluarga? Bukankah harapan yang
mengisi hari-hari kita hanya untuk keluarga? Keluarga, Orang-orang terdekat
yang selalu ada setiap waktu tanpa mengenal putaran roda kehidupan. Orang-orang
yang tanpa diminta selalu menyebutkan nama kita dalam tiap sujud doanya.
Orang-orang pertama yang menangis bahagia saat kita terlahir, dan orang
terakhir yang menangisi kepergian kita. Orang-orang yang hadir, selalu ada
dalam hati kita dengan sadar atau tidak, orang-orang yang mengisi relung hati
terdalam, perlahan muncul dalam ingatan membawa rindu berkabut sesal, karena kita
sering kali lupa akan keberadaannya.
Siapa pun kita, kakek,
nenek, ayah, ibu, suami, istri hendaknya lebih dari sekedar memahami jika peran
keluarga adalah peran sentral, peran terpenting dalam perkembangan karakter dan
pendidikan anak. Menjadi pedoman, teladan, pelindung, bertanggung jawab, guru
terbaik dari semua guru di sekolah formal yang mengajarkan ajaran vertikal
kepada Sang Maha Pencipta. Membentengi anak dengan pondasi agama yang kuat,
takut kepada Tuhan, ibadah, menjalankan ajaran dan menjauhi larangan-Nya.
Memberikan contoh langsung dalam menerapkan ajaran horizontal sebagai mahkluk
sosial, mendampingi, menemani bermain, belajar, mengajarkan sikap disiplin,
sopan, santun, senyum, rendah hati, menunjukan pemahaman yang baik dan kurang
baik, yang boleh dan belum boleh, menjadi sahabat terbaik yang mendengar keluh
kesah dan keinginan anak. Memberikan hak pendidikan tinggi setinggi-tingginya,
mendukung dan terus menggali tiap potensi yang lahir dan tumbuh.
Keluarga merupakan
tempat awal membangun insan literat. Insan pembelajar yang terus belajar
sepanjang hayat. Meluangkan waktu untuk berkumpul bersama, bersantai, refreshing menjadi salah satu jurus
ampuh untuk membangun quality time,
mempererat ikatan emosional, membangun benteng pertahanan yang kokoh, tidak
mudah runtuh. Menjaga ritme komunikasi setiap hari, saling-silang, saling memberi
dan berbagi, tolong-menolong, saling menyayangi merupakan impian sederhana yang
diimpikan setiap insan di bumi. Terlebih daripada itu, keluarga yang harmonis
sangat menentukan perilaku, kebiasaan, karakter, sikap, dan mental anak dalam
masa pertumbuhannya.
Keluarga merupakan taman
mini kehidupan bangsa. Cerminan dalam skala terkecil masyarakat, hendaknya siap
menjadi busur panah untuk melesat, cepat dan tepat dalam mengantarkan anak
meraih cita-cita dan mimpinya di masa depan. Melekatkan dalam fikiran dan
ingatan bahwa apapun yang kita lakukan selalu dari dan untuk KELUARGA.
Adi Tama
Guru SDN Larangan 2 Kota Cirebon
*Tulisan yang merekah saat melintasi setapak jalan menuju
sekolah
#sahabatkeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar