Pesan Buku

Untuk pemesanan buku langsung hub >>
Email : aditamacrb@gmail.com /
Whatsapp : 082119801010
Pengiriman luar kota menggunakan JNE / Tiki / Pos
(No. Resi segera dikirim kepada pemesan)

★ RINDU ITU TETAP BEGITU



Rindu Itu Tetap Begitu
Oleh
Adi Tama
.....
Dan
Aku rindu.
Itu saja!

Sebuah sajak singkat baru saja tertulis dalam note laptop.

Tangannya terhenti, berfikir ia dalam hati “Sungguh, tak bisa lagi aku menahan rasa ini.”
Tok, tok, tok, perlahan pintu terbuka bersama dengan suara ramah menyapa, “Selamat siang Pak, hanya mengingatkan pukul 13.00 ini Bapak ada janji menemui seorang klien di Orange Cafe,” Lamunannya terbangun, imajinya terhenti “Oh ya, terima kasih Aies.” Ia membalas singkat dengan senyum kecil, lalu bergegas keluar membawa laptop kesayangannya. Sebelum pergi, ia meninggalkan pesan pada sekertarisnya tadi. “Aies, hari ini aku full schedule. Jika ada yang mencari, sampaikan esok datang lagi.” “Baik Pak.” Aies terlihat memperhatikan sigap.

Mengendarai mobil sport dua pintu, pakaian yang rapi berbalut jas mengkilap. Style yang high class seperti pengusaha-pengusaha muda lainnya di negeri ini. Selalu terlihat formal setiap waktu, bahkan saat sekedar hanya mengerjakan hal yang remeh dan sudah larut malam. Alunan musik berputar ‘Bintang malam katakan padanya, aku ingin melukis sinarmu di hatinya ....... Rindu-Kerispatih’, beradu dengan bisingnya klakson, knalpot dan riuhnya kendaraan di jalan. Lelaki itu tetap nyaman berada dalam mobilnya.

Tak lama, sampailah ia di tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya. Bertemu dengan seseorang, membicarakan tentang pundi-pundi rupiah yang akan didapatnya kemudian. “Selamat siang Pak Rifky.” Seorang lelaki menyapa sambil menjulurkan tangannya. “Siang Pak Febri.” Dengan saling bersenyum sapa mereka berjabat tangan. Memesan secangkir kopi yang harganya mungkin dua puluh kali lipat dari harga kopi kaki lima, kemudian berbincang.
Waktu berlalu cepat, kedua orang eksekutif muda itu berpisah. Usai sudah mereka bicara tentang project yang mereka rancang. Lelaki muda bernama Rifky itu tak segera pergi. Ia masih tinggal lebih lama. Menghisap tembakau yang menempel di jemari kirinya, menghirup aroma kopi di negeri penghasil kopi.

Rifky Angkasa nama lengkapnya. Bergelar magister di usianya yang belum genap tiga puluh tahun. Lelaki tampan, mapan, sukses dalam karier yang di bangunnya sedari nol. Lelaki idaman para wanita zaman ini. Lelaki sempurna di mata para hawa. Dengan segala yang telah ia raih, senyum mengembang terlihat bersama kepulan asap yang keluar dari bibirnya, tanpa bicara, tanpa kata. Sorot matanya menerawang jauh, fikirnya entah ke mana, menari dalam imaji waktu di masa lalu.

Dari kejauhan, di sisi paling pojok cafe, ia melihat sepasang dua sejoli sedang memadu kasih. Berdua mereka tampak bahagia, berbagi bersama, tertawa bersama, sang adam terlihat mengambil tisu lalu menempelkannya di pucuk bibir sang hawa. Hendak membersihkan sisa cokelat yang hanya sedikit atau bahkan tidak ada. Mesra terasa. Dengan perasaan Rifky sekilas memperhatikan, sorot matanya fokus, menarik nafas dalam lalu dihembusannya perlahan. Ada rasa kangen dari dalam hati yang membaur menyelimuti sadarnya. Kembali ia teringat.

Masih tetap, sembari menghembuskan asap bakaunya, kali ini perlahan. Berkata ia lirih, “Aku adalah kesempurnaan hidup.” Kalimat dalam tercipta, entah bermakna seyakin yakinnya keyakinan atau hanya sebuah penghibur karena suatu hal. Entahlah!

Rifky beranjak pergi, memasuki sebuah toko buku ternama. Membeli dua kardus besar penuh buku dengan berbagai judul tanpa di pilah-pilihnya lagi. Membayar dengan sebuah kartu lalu menyuruh karyawan toko membawa dalam mobilnya. “Terima kasih banyak. Ini ambilah untuk tips.” Katanya pada karyawan tadi. “Terima kasih Pak.” Jawab karyawan toko dengan ramah, tangannya mengambil selembar uang dari Rifky.

“Sekarang aku akan menemui anak-anak jalanan.” Mulutnya bicara kecil sesaat sebelum mobil dinyalakan. Satu jam berselang, kini ia telah sampai di sebuah pemukiman kumuh. Berjalan sendiri memasuki lorong gang sempit melewati tempat pembuangan sampah yang menjadi harta bagi warga sekitar untuk menyambung hidup dan menghidupi keluarganya.

“Itu Kak Rifky.” Suara seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun terdengar nyaring. Berteriak pada teman-teman sebayanya, lalu berhamburan lari mendekati Rifky yang semakin mendekat.” “Kak Rifky apa kabar? Kakak sibuk ya baru ke sini lagi?” Tanya seorang bocah bernama Dede. “Alhamdulillah, kabar Kakak baik. Iya maafkan Kak Rifky ya adik-adik, Dede, Fian, Joko, Nanang, Bams, Itok, Lalla, Ivo, Ra, dan Fatma. Kakak sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi belum sempat mampir ke sini. Oh ya, bagaimana kabar kalian semua?” Rifky menjelaskan dan bertanya.

“Kabar aku baik Kak.” Dede menjawab. “Aku juga, Saya Juga.” Fian dan Nanang berkata beriringan. “Kabar kami baik-baik saja semuanya Kak.” Pungkas Lalla, gadis kecil cantik yang terpaksa harus putus sekolah karena biaya hidup yang semakin mencekik. Bahkan bukan hanya Lalla, semua anak-anak itu sudah tidak ada yang bersekolah. Mereka memilih untuk membantu Bapak Ibunya. Menjadi pemulung, berjualan minuman dingin di lampu merah, atau mengamen mengharap belas kasih iba orang-orang yang ditemuinya di jalanan.

Dengan tatapan tulus dan seulas senyum Rifky berkata dalam hati, “Mereka adalah anak-anak yang tersingkirkan dari dunianya. Mereka tak merasakan lagi hangatnya sinar mentari pagi saat upacara bendera. Tak lagi berbaris rapi, kemudian masuk ke dalam kelas satu per satu dengan kuku dan pakaian yang diperiksa gurunya. Mereka tak lagi mengerjakan PR, atau bermain bola di lapangan sekolah saat jam istirahat dengan masih mengenakan seragam putih merah lengkap. Mereka adalah anak-anak hebat yang kurang beruntung. Saat bersama merekalah, aku merasakan berarti lebih dari semua yang kukerjakan.”

Lamunan singkatnya tersadarkan saat Nanang berkata, “Ayo Kak kita ke balai.” Menjawab ia, “Tunggu sebentar. Sebelum ke balai, semuanya bantu Kakak dulu. Kakak bawakan sesuatu untuk kalian semua.” “Asik...Bawa apa kak Rifky.” Tanya Ra. “Kakak bawakan buku bacaan baru untuk kalian. Yuk, semuanya ke mobil Kakak dulu untuk mengambil hadiah yang Kak Rifky bawa.” “Ayo teman-teman.” Celoteh Bams mengajak kawannya.

Bergotong royong bocah-bocah kecil itu mengangkat dus berisi penuh buku. Dengan tergopoh-gopoh keberatan namun tetap riang gembira layaknya anak-anak. Akhirnya mereka tiba di sebuah balai, bangunan dari kayu yang sengaja dibuat untuk taman baca, atau sekedar bersantai. Bak menemukan harta karun, anak-anak itu mulai berebut memilih dan mencari buku untuk dibaca. Rifky hanya tersenyum manis memperhatikan kelakuan bocah-bocah itu.

Sebuah pesan singkat di group WA Alumni SMP berbunyi. Tangannya segera meraih HP dan membacanya.

“Guys jangan lupa, minggu depan kita reuni di  Hotel Cipto. Acara mulai pukul 10.00 – Selesai. Salam kangen untuk semua. Trims”

Sejenak terdiam, fikirnya mengembara, lalu membalas dengan tulisan singkat “Aku datang.” Kalimat singkat yang ia tulis dengan sebuah harapan. Sebuah asa yang selama ini ada. Tentang sebuah nama yang telah lama hilang entah ke mana. Nama yang sebenarnya selalu ada, hidup bersemayam dalam hatinya. Nama yang selama ini ia rindukan, ia cari, ia harapkan. Nama yang mampu membuatnya melamun, kosong, menyadari lemahnya jiwa dalam sempurnanya mimpi. Sebuah nama yang mengingatkannya kembali pada sebuah wajah. Sosok seorang wanita yang lama ia dambakan, ia rindukan keberadaannya.

Tersadar, lalu berkata, “Adik-adik sekarang Kakak harus pamit, masih ada yang harus Kakak kerjakan. Kalian yang rajin belajarnya, rajin juga membaca. Selalu ingat, membaca membawa kita tahu banyak hal.” “Terima kasih banyak ya Kak Rifky. Kakak hati-hati di jalan.” Bibir mungil Lalla berucap manja. “Terima kasih Kak.” Yang lain bersautan bicara. “Iya sama-sama Adik-adik.” Rifky menjawab sembari menyalami anak-anak itu, kemudian berlalu pergi, kembali pada dunianya yang lain.

Dalam perjalanan konsentrasinya buyar, ia tetap memikirkan seraut wajah lama. Ada kerinduan yang begitu mendalam. Rindu yang membuatnya kecil bagai titik yang tak berarti. Tak tahu harus apa, bagaimana, atau ke mana. Di tengah macetnya jalanan ibu kota, ia merasa kesendiriannya semakin menjadi. Kangen, ingin berjumpa.

“Diana... Di mana engkau?” mulutnya berkata pelan.
“Ke mana aku harus mencarimu?”
“Apa kau sudah menikah, mempunyai anak yang cantik dan lucu?”
“Siapa lelaki beruntung itu?”

Setumpuk pertanyaan terlintas datang begitu saja. Hinggap dan tak mau pergi. Pertanyaan yang menimbulkan rasa penasaran dahsyat. Pertanyaan yang belum ia tahu jawabannya.
Satu hari, dua hari, tiga hari berganti. Tidak di kantor tadi, tak juga di rumah kini. Perasaannya masih tak menentu, bimbang menyelimuti kalbu karena rasa diburu rindu. Resah hatinya tak tentu arah, gelisah yang semakin pekat seperti langit gelap saat hujan angin datang berpesta, beriringan dengan suara dentuman geledek disertai kilatan petir. Gelap, menakutkan.

Dalam bingungnya, ingin ia teriak menumpahkan segala yang dirasanya. Ia pejamkan mata, mendengarkan hatinya bersuara.

“Diana, andai saja kau ada.
Dengan segenap jiwa ingin kucurahkan semuanya.
Diana, andai saja kau tahu.
Di sini aku begitu merindumu.

Dee, sebuah kata yang kuucap untuk memanggilmu.
Dee, andai saja kau mengerti.
 Panggilan kecil itu bukti besarnya rasa yang kupunya.
Dee, andai saja....”

Berjalan ia mengambil segelas minuman dingin berwarna. Diteguknya perlahan, sayang segarnya air tak mampu menyegarkan jiwanya yang kosong. Lagi mulutnya bicara,” Diana...Di mana engkau? Apa kabarmu kini? Ke mana aku harus mencari?” Cemasnya semakin menjadi. Duduk, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi, berjalan bolak-balik, bolak-balik, mondar-mandir seperti nampak berfikir, padahal tidak. Ia bahkan tak pernah tahu harus berbuat apa.

Dinyalakan laptopnya, mencari di sosial media tentang sebuah nama, diketik dan diketiknya, cari dan terus mencari, berulang-ulang, berpuluh-puluh kali namun tak jua ia dapati nama yang ia tuju. Dalam diam ia berkata, “Percuma...Diana bukan tipe wanita yang bermain sosial media, kalaupun ada, pasti dengan nama yang bukan namanya. Perempuan itu akan menyembunyikan identitasnya.” Rifky menutup laptopnya keras, kembali melamun. Merasakan diri yang terkoyak sepi.

Diamnya berirama.

“Tuhan...
Mengapa Kau berikan rasa ini kepadaku?
Mengapa aku tak bisa lepas dari wanita yang bahkan bayangannya saja tak tahu di mana?

Tuhan...
Rindu ini sangat menyiksaku.
Sungguh! Aku kalah, aku akui aku kalah.
Rasa ini telah mengambil segalaku, semua daya dan upayaku.
Lelah energiku terkuras, habis semangatku karena rindu.

Tuhan...
 Andai masih ada jalan, berikanlah aku jalan.”

Enam hari berlalu. Enam hari yang membuatnya tersiksa rasa. Enam hari yang tak seperti biasanya. Enam hari dengan rasa rindu yang menggebu, melanda jiwa, bergentayangan memasuki seluruh rongga tubuhnya.
Tak bisa matanya terpejam. Tak sabar menunggu esok datang. Reuni SMP. Hari yang penuh harap. Hari yang akan mengembalikan kenangan lama bersama kerabatnya dulu sewaktu berseragam putih biru.

Lebih dari itu, hari yang ia harap menjadi hari yang spesial karena bertemu kembali dengan seorang wanita bernama Diana. Satu-satunya orang yang membelanya saat yang lain menertawakan karena ia tertidur di dalam kelas. Wanita yang selalu membantunya mengerjakan tugas. Wanita yang selalu menjadi andalan untuk dimintai jawaban, dan dengan suka rela memberikan jawabannya saat ulangan. Wanita dengan senyum termanis di dunia menurutnya. Wanita cantik berambut panjang, pintar, baik, ramah pada siapapun. Wanita yang saat berada di dekatnya membuat detak jantung terasa semakin cepat. Kelu, kikuk, tak mampu bicara tentang hal yang ingin dibicarakan. Wanita yang selalu ada dalam bayanganya. Wanita sempurna yang selalu ada dalam tiap doanya.

Hari itu datang. Pukul 10.00 tepat Rifky berada di ruangan sebuah hotel. Kedatangannya di sambut hangat oleh teman-teman lamanya. Namanya harum seiring prestasi dan karier gemilang yang ia raih. Bagai seorang raja yang dielu-elukan. Rifky menjadi magnet tersendiri bagi sekitarnya.
Sambil bercengkrama, berbagi cerita bersama, matanya terlihat sibuk mencari sesuatu yang tidak ia temukan. Rasa kecewanya muncul perlahan, semakin besar dan membesar. Harapannya selama ini berujung duka. Yang ia cari tak nampak di sana.

Berputar ia mengelilingi ruangan, berjabat tangan mengunjungi satu-per satu kerabatnya. Berbincang singkat sambil tetap memperhatikan, mencari dan terus mencari.
Hingga hampir penghujung acara Diana tak ada. Wajah cantiknya tak terlihat. Dengan perasaan bercampur, senang dan syukur karena bisa berjumpa dengan kawan lama, dibalut besarnya harapan rindu bertemu Diana yang membuat kecewa. Rifky berjalan pelan-pelan keluar pintu utama menuju tempat mobilnya terparkir. Harapannya sirna seiring langkahnya.

Sesaat sebelum membuka pintu mobil, terdengar suara memanggil “Q.” Menoleh ia, kaget serasa tak percaya. Seraut wajah yang selama ini ia damba berada di hadapannya. Dengan senyum yang masih tetap termanis di dunia, sama seperti dulu. Wanita itu berjalan menghampiri Rifky yang masih terdiam menatap.

“Q apa kabar?” Suara merdu yang selama ini ia rindu, tangan wanita itu menyapa seirama dengan merekahnya senyuman lembut. “Dee?” Rifky membalas pelan, hampir tak terdengar. Perlahan tangannya menyambut, mereka bersalaman. Detik-detik yang ia harapkan menjadi kenyataan. Menit, jam, waktu yang ia tunggu akhirnya tiba. Sosok yang ia rindukan kini hadir tepat di depannya. Hanya beberapa centimeter dari tempatnya berdiri.
“Aku banyak mendengar tentangmu, selamat ya.” Ucapnya lagi. Perkataan sekaligus pujian yang terngiang mengalun jauh lebih merdu dari alunan biola. Mengeluarkan senyum terindahnya Rifky membalas, “Terima kasih.” Tetap terdengar pelan. Lirih.

Dalam hati Rifky berkata, “Seperti biasa, sama seperti dahulu. Di hadapanmu aku kelu, selalu! Tak mampu menatap, terlebih bicara. Walau ingin!”

“Baiklah Q, kalau begitu aku ke atas dulu, menemui yang lain. Sampai berjumpa lagi.” Wanita itu pergi, detik itu berganti.

Rifky hanya membalas dengan senyuman. Hati kecilnya kembali bicara, “ Bertanya saja belum, apalagi terjawab. Lalu, engkau berlalu. Lagi dan lagi. Aku hanya mampu melihatmu semakin jauh, kecil. Kemudian hilang dalam bayang.”

“Rindu itu...Tetap begitu!”











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  GAMBARAN DIRI GURU PENGGERAK TIGA TAHUN KE DEPAN   Jika disederhanakan dalam dua kata saya ingin terus BELAJAR dan BERBAGI.   As...