Rindu Itu Tetap Begitu
Oleh
Adi Tama
.....
Dan
Aku
rindu.
Itu
saja!
Sebuah
sajak singkat baru saja tertulis dalam note
laptop.
Tangannya
terhenti, berfikir ia dalam hati “Sungguh, tak bisa lagi aku menahan rasa ini.”
Tok, tok, tok,
perlahan pintu terbuka bersama dengan suara ramah menyapa, “Selamat siang Pak, hanya
mengingatkan pukul 13.00 ini Bapak ada janji menemui seorang klien di Orange Cafe,” Lamunannya terbangun,
imajinya terhenti “Oh ya, terima kasih Aies.” Ia membalas singkat dengan senyum
kecil, lalu bergegas keluar membawa laptop kesayangannya. Sebelum pergi, ia
meninggalkan pesan pada sekertarisnya tadi. “Aies, hari ini aku full schedule. Jika ada yang mencari,
sampaikan esok datang lagi.” “Baik Pak.” Aies terlihat memperhatikan sigap.
Mengendarai
mobil sport dua pintu, pakaian yang
rapi berbalut jas mengkilap. Style yang high class seperti pengusaha-pengusaha muda lainnya di negeri ini.
Selalu terlihat formal setiap waktu, bahkan saat sekedar
hanya mengerjakan hal yang remeh dan sudah larut
malam. Alunan musik berputar ‘Bintang
malam katakan padanya, aku ingin melukis sinarmu di hatinya .......
Rindu-Kerispatih’, beradu dengan bisingnya klakson, knalpot dan riuhnya
kendaraan di jalan. Lelaki itu tetap nyaman berada dalam mobilnya.
Tak lama,
sampailah ia di tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya. Bertemu dengan seseorang, membicarakan
tentang pundi-pundi rupiah yang akan didapatnya kemudian. “Selamat siang Pak
Rifky.” Seorang lelaki menyapa sambil menjulurkan tangannya. “Siang Pak Febri.”
Dengan saling bersenyum sapa mereka berjabat tangan. Memesan secangkir kopi
yang harganya mungkin dua puluh kali lipat dari harga kopi kaki lima, kemudian
berbincang.
Waktu berlalu
cepat, kedua orang eksekutif muda itu berpisah. Usai sudah mereka bicara
tentang project yang mereka rancang.
Lelaki muda bernama Rifky itu tak segera pergi. Ia masih tinggal lebih lama.
Menghisap tembakau yang menempel di jemari kirinya, menghirup aroma kopi di
negeri penghasil kopi.
Rifky Angkasa
nama lengkapnya. Bergelar magister di usianya yang belum genap tiga puluh
tahun. Lelaki tampan, mapan, sukses dalam karier yang di bangunnya sedari nol.
Lelaki idaman para wanita zaman ini. Lelaki sempurna di mata para hawa. Dengan
segala yang telah ia raih, senyum mengembang terlihat bersama kepulan asap yang
keluar dari bibirnya, tanpa bicara, tanpa kata. Sorot
matanya menerawang jauh, fikirnya entah ke mana, menari dalam imaji waktu di
masa lalu.
Dari kejauhan,
di sisi paling pojok cafe, ia melihat
sepasang dua sejoli sedang memadu kasih. Berdua mereka tampak bahagia, berbagi
bersama, tertawa bersama, sang adam terlihat mengambil tisu lalu menempelkannya
di pucuk bibir sang hawa. Hendak membersihkan sisa cokelat yang hanya sedikit
atau bahkan tidak ada. Mesra terasa. Dengan perasaan Rifky sekilas
memperhatikan, sorot matanya fokus, menarik nafas dalam lalu dihembusannya
perlahan. Ada rasa kangen dari dalam hati yang membaur menyelimuti sadarnya.
Kembali ia teringat.
Masih tetap,
sembari menghembuskan asap bakaunya, kali ini perlahan. Berkata ia lirih, “Aku
adalah kesempurnaan hidup.” Kalimat dalam tercipta, entah bermakna seyakin
yakinnya keyakinan atau hanya sebuah penghibur karena suatu hal. Entahlah!
Rifky beranjak
pergi, memasuki sebuah toko buku ternama. Membeli dua kardus besar penuh buku
dengan berbagai judul tanpa di pilah-pilihnya lagi. Membayar dengan sebuah
kartu lalu menyuruh karyawan toko membawa dalam mobilnya. “Terima kasih banyak.
Ini ambilah untuk tips.” Katanya pada karyawan tadi. “Terima kasih Pak.” Jawab
karyawan toko dengan ramah, tangannya mengambil selembar uang dari Rifky.
“Sekarang aku
akan menemui anak-anak jalanan.” Mulutnya bicara kecil sesaat sebelum mobil
dinyalakan. Satu jam berselang, kini ia telah sampai di sebuah pemukiman kumuh.
Berjalan sendiri memasuki lorong gang sempit melewati tempat pembuangan sampah
yang menjadi harta bagi warga sekitar untuk
menyambung hidup dan menghidupi keluarganya.
“Itu Kak Rifky.”
Suara seorang bocah lelaki berusia sekitar sepuluh tahun terdengar nyaring.
Berteriak pada teman-teman sebayanya, lalu berhamburan lari mendekati Rifky
yang semakin mendekat.” “Kak Rifky apa kabar? Kakak sibuk ya baru ke sini
lagi?” Tanya seorang bocah bernama Dede. “Alhamdulillah, kabar Kakak baik. Iya
maafkan Kak Rifky ya adik-adik, Dede, Fian, Joko, Nanang, Bams, Itok, Lalla,
Ivo, Ra, dan Fatma. Kakak sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, jadi
belum sempat mampir ke sini. Oh ya, bagaimana kabar kalian semua?” Rifky
menjelaskan dan bertanya.
“Kabar aku baik
Kak.” Dede menjawab. “Aku juga, Saya Juga.” Fian dan Nanang berkata beriringan.
“Kabar kami baik-baik saja semuanya Kak.” Pungkas Lalla, gadis kecil cantik
yang terpaksa harus putus sekolah karena biaya hidup yang semakin mencekik.
Bahkan bukan hanya Lalla, semua anak-anak itu sudah tidak ada yang bersekolah.
Mereka memilih untuk membantu Bapak Ibunya. Menjadi pemulung, berjualan minuman
dingin di lampu merah, atau mengamen mengharap belas kasih iba orang-orang yang
ditemuinya di jalanan.
Dengan tatapan
tulus dan seulas senyum Rifky berkata dalam hati, “Mereka adalah anak-anak yang
tersingkirkan dari dunianya. Mereka tak merasakan lagi hangatnya sinar mentari
pagi saat upacara bendera. Tak lagi berbaris rapi, kemudian masuk ke dalam
kelas satu per satu dengan kuku dan pakaian yang diperiksa gurunya. Mereka tak
lagi mengerjakan PR, atau bermain bola di lapangan sekolah saat jam istirahat
dengan masih mengenakan seragam putih merah lengkap. Mereka adalah anak-anak
hebat yang kurang beruntung. Saat bersama merekalah, aku merasakan berarti
lebih dari semua yang kukerjakan.”
Lamunan
singkatnya tersadarkan saat Nanang berkata, “Ayo Kak kita ke balai.” Menjawab
ia, “Tunggu sebentar. Sebelum ke balai, semuanya bantu Kakak dulu. Kakak
bawakan sesuatu untuk kalian semua.” “Asik...Bawa apa kak Rifky.” Tanya Ra.
“Kakak bawakan buku bacaan baru untuk kalian. Yuk, semuanya ke mobil Kakak dulu
untuk mengambil hadiah yang Kak Rifky bawa.” “Ayo teman-teman.” Celoteh Bams
mengajak kawannya.
Bergotong royong
bocah-bocah kecil itu mengangkat dus berisi penuh buku. Dengan tergopoh-gopoh
keberatan namun tetap riang gembira layaknya anak-anak. Akhirnya mereka tiba di
sebuah balai, bangunan dari kayu yang sengaja dibuat untuk taman baca, atau
sekedar bersantai. Bak menemukan harta karun, anak-anak itu mulai berebut
memilih dan mencari buku untuk dibaca. Rifky hanya tersenyum manis
memperhatikan kelakuan bocah-bocah itu.
Sebuah pesan
singkat di group WA Alumni SMP berbunyi. Tangannya segera meraih HP dan membacanya.
“Guys jangan lupa, minggu depan kita reuni di Hotel Cipto. Acara mulai pukul 10.00 –
Selesai. Salam kangen untuk semua. Trims”
Sejenak terdiam,
fikirnya mengembara, lalu membalas dengan tulisan singkat “Aku datang.” Kalimat
singkat yang ia tulis dengan sebuah harapan. Sebuah asa yang selama ini ada.
Tentang sebuah nama yang telah lama hilang entah ke mana. Nama yang sebenarnya
selalu ada, hidup bersemayam dalam hatinya. Nama yang selama ini ia rindukan,
ia cari, ia harapkan. Nama yang mampu membuatnya melamun, kosong, menyadari
lemahnya jiwa dalam sempurnanya mimpi. Sebuah nama yang mengingatkannya kembali
pada sebuah wajah. Sosok seorang wanita yang lama ia dambakan, ia rindukan
keberadaannya.
Tersadar, lalu
berkata, “Adik-adik sekarang Kakak harus pamit, masih ada yang harus Kakak
kerjakan. Kalian yang rajin belajarnya, rajin juga membaca. Selalu ingat, membaca
membawa kita tahu banyak hal.” “Terima kasih banyak ya Kak Rifky. Kakak
hati-hati di jalan.” Bibir mungil Lalla berucap manja. “Terima kasih Kak.” Yang
lain bersautan bicara. “Iya sama-sama Adik-adik.” Rifky menjawab sembari
menyalami anak-anak itu, kemudian berlalu pergi,
kembali pada dunianya yang lain.
Dalam perjalanan
konsentrasinya buyar, ia tetap memikirkan seraut wajah lama. Ada kerinduan yang
begitu mendalam. Rindu yang membuatnya kecil bagai titik yang tak berarti. Tak tahu harus apa, bagaimana, atau ke mana. Di tengah
macetnya jalanan ibu kota, ia merasa kesendiriannya semakin menjadi. Kangen,
ingin berjumpa.
“Diana...
Di mana engkau?” mulutnya berkata pelan.
“Ke
mana aku harus mencarimu?”
“Apa
kau sudah menikah, mempunyai anak yang cantik dan lucu?”
“Siapa lelaki
beruntung itu?”
Setumpuk
pertanyaan terlintas datang begitu saja. Hinggap dan tak mau pergi. Pertanyaan
yang menimbulkan rasa penasaran dahsyat. Pertanyaan yang belum ia tahu
jawabannya.
Satu hari, dua
hari, tiga hari berganti. Tidak di kantor tadi, tak juga di rumah kini.
Perasaannya masih tak menentu, bimbang menyelimuti kalbu karena rasa diburu
rindu. Resah hatinya tak tentu arah, gelisah yang semakin pekat seperti langit
gelap saat hujan angin datang berpesta, beriringan dengan suara dentuman
geledek disertai kilatan petir. Gelap, menakutkan.
Dalam
bingungnya, ingin ia teriak menumpahkan segala yang dirasanya. Ia pejamkan
mata, mendengarkan hatinya bersuara.
“Diana, andai
saja kau ada.
Dengan segenap
jiwa ingin kucurahkan semuanya.
Diana, andai
saja kau tahu.
Di sini aku
begitu merindumu.
Dee, sebuah kata
yang kuucap untuk memanggilmu.
Dee, andai saja
kau mengerti.
Panggilan kecil itu bukti besarnya rasa yang kupunya.
Dee, andai
saja....”
Berjalan ia
mengambil segelas minuman dingin berwarna. Diteguknya perlahan, sayang segarnya
air tak mampu menyegarkan jiwanya yang kosong. Lagi mulutnya bicara,” Diana...Di
mana engkau? Apa kabarmu kini? Ke mana aku harus mencari?” Cemasnya semakin
menjadi. Duduk, berdiri, duduk, lalu berdiri lagi, berjalan bolak-balik,
bolak-balik, mondar-mandir seperti nampak berfikir, padahal tidak. Ia bahkan
tak pernah tahu harus berbuat apa.
Dinyalakan
laptopnya, mencari di sosial media tentang sebuah nama, diketik dan diketiknya,
cari dan terus mencari, berulang-ulang, berpuluh-puluh kali namun tak jua ia
dapati nama yang ia tuju. Dalam diam ia berkata, “Percuma...Diana bukan tipe
wanita yang bermain sosial media, kalaupun ada, pasti dengan nama yang bukan
namanya. Perempuan itu akan menyembunyikan identitasnya.” Rifky menutup
laptopnya keras, kembali melamun. Merasakan diri yang terkoyak sepi.
Diamnya
berirama.
“Tuhan...
Mengapa Kau
berikan rasa ini kepadaku?
Mengapa aku tak
bisa lepas dari wanita yang bahkan bayangannya saja tak tahu di mana?
Tuhan...
Rindu ini sangat
menyiksaku.
Sungguh! Aku
kalah, aku akui aku kalah.
Rasa ini telah
mengambil segalaku, semua daya dan upayaku.
Lelah energiku
terkuras, habis semangatku karena rindu.
Tuhan...
Andai masih ada jalan, berikanlah aku jalan.”
Enam hari
berlalu. Enam hari yang membuatnya tersiksa rasa. Enam hari yang tak seperti
biasanya. Enam hari dengan rasa rindu yang menggebu, melanda jiwa,
bergentayangan memasuki seluruh rongga tubuhnya.
Tak bisa matanya
terpejam. Tak sabar menunggu esok datang. Reuni SMP. Hari yang penuh harap.
Hari yang akan mengembalikan kenangan lama bersama kerabatnya dulu sewaktu
berseragam putih biru.
Lebih dari itu,
hari yang ia harap menjadi hari yang spesial karena bertemu kembali dengan
seorang wanita bernama Diana. Satu-satunya orang yang membelanya saat yang lain
menertawakan karena ia tertidur di dalam kelas. Wanita yang selalu membantunya mengerjakan
tugas. Wanita yang selalu menjadi andalan untuk dimintai jawaban, dan dengan
suka rela memberikan jawabannya saat ulangan. Wanita dengan senyum termanis di
dunia menurutnya. Wanita cantik berambut panjang, pintar, baik, ramah pada
siapapun. Wanita yang saat berada di dekatnya membuat
detak jantung terasa semakin cepat. Kelu, kikuk, tak mampu bicara tentang hal
yang ingin dibicarakan. Wanita yang selalu ada dalam bayanganya. Wanita
sempurna yang selalu ada dalam tiap doanya.
Hari itu datang.
Pukul 10.00 tepat Rifky berada di ruangan sebuah hotel. Kedatangannya di sambut
hangat oleh teman-teman lamanya. Namanya harum seiring prestasi dan karier
gemilang yang ia raih. Bagai seorang raja yang dielu-elukan. Rifky menjadi magnet tersendiri bagi sekitarnya.
Sambil
bercengkrama, berbagi cerita bersama, matanya terlihat sibuk mencari sesuatu
yang tidak ia temukan. Rasa kecewanya muncul perlahan,
semakin besar dan membesar. Harapannya selama ini berujung duka. Yang ia cari
tak nampak di sana.
Berputar ia
mengelilingi ruangan, berjabat tangan mengunjungi satu-per satu kerabatnya.
Berbincang singkat sambil tetap memperhatikan, mencari dan terus mencari.
Hingga hampir penghujung acara Diana tak ada. Wajah
cantiknya tak terlihat. Dengan perasaan bercampur, senang dan syukur karena
bisa berjumpa dengan kawan lama, dibalut besarnya harapan rindu bertemu Diana
yang membuat kecewa. Rifky berjalan pelan-pelan keluar pintu utama menuju
tempat mobilnya terparkir. Harapannya sirna seiring langkahnya.
Sesaat sebelum
membuka pintu mobil, terdengar suara memanggil “Q.” Menoleh ia, kaget serasa
tak percaya. Seraut wajah yang selama ini ia damba berada di hadapannya. Dengan senyum yang masih tetap termanis di
dunia, sama seperti dulu. Wanita itu berjalan menghampiri Rifky yang masih
terdiam menatap.
“Q apa kabar?”
Suara merdu yang selama ini ia rindu, tangan wanita itu menyapa seirama dengan
merekahnya senyuman lembut. “Dee?” Rifky membalas pelan, hampir tak terdengar.
Perlahan tangannya menyambut, mereka bersalaman. Detik-detik yang ia harapkan
menjadi kenyataan. Menit, jam, waktu yang ia tunggu akhirnya tiba. Sosok yang
ia rindukan kini hadir tepat di depannya. Hanya beberapa centimeter dari
tempatnya berdiri.
“Aku banyak
mendengar tentangmu, selamat ya.” Ucapnya lagi. Perkataan sekaligus pujian yang
terngiang mengalun jauh lebih merdu dari alunan biola. Mengeluarkan
senyum terindahnya Rifky membalas, “Terima kasih.” Tetap terdengar pelan.
Lirih.
Dalam hati Rifky
berkata, “Seperti biasa, sama seperti dahulu. Di hadapanmu aku kelu, selalu!
Tak mampu menatap, terlebih bicara. Walau ingin!”
“Baiklah Q,
kalau begitu aku ke atas dulu, menemui yang lain. Sampai berjumpa lagi.” Wanita
itu pergi, detik itu berganti.
Rifky hanya
membalas dengan senyuman. Hati kecilnya kembali bicara, “ Bertanya saja belum,
apalagi terjawab. Lalu, engkau berlalu. Lagi dan lagi. Aku hanya mampu
melihatmu semakin jauh, kecil. Kemudian hilang dalam bayang.”
“Rindu
itu...Tetap begitu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar