Pesan Buku

Untuk pemesanan buku langsung hub >>
Email : aditamacrb@gmail.com /
Whatsapp : 082119801010
Pengiriman luar kota menggunakan JNE / Tiki / Pos
(No. Resi segera dikirim kepada pemesan)

★ Mereka Menyebutku Pelacur!

Mereka Menyebutku Pelacur!

“Baiklah adik-adik, sekarang Kakak harus pulang dulu. Kalian lanjutkan membacanya. Selalu ingat membaca membawa kita menjelajahi dunia, membaca membuat kita tahu lebih banyak tentang berbagai hal di dunia ini” kataku sebelum pergi. 
“Terima kasih ya Kak Vero.” Ucap Indah seorang bocah perempuan berusia 10 tahun dengan senyum yang terlihat tulus mengembang di bibirnya. 
“Terima kasih untuk buku-bukunya Kak Vero, kami senang sekali” Dimas menambahkan. 
Seorang anak lelaki sulung di keluarganya, berusia 13 tahun yang terpaksa berhenti sekolah karena biaya hidup yang semakin mencekik. 
“Iya, sama-sama sayang. Belajar yang rajin ya. Jangan pernah berhenti berharap, teruslah berdoa dan berusaha.” Kataku lagi sambil duduk dengan tumpuan kedua lutut di tanah, tanganku mengusap rambut mereka satu per satu.
          
 Aku lihat lebih dalam detik-detik berlalu saat itu. Aku lihat tatapan-tatapan harapan dari sorot mata mereka. aku rasakan sinar energi semangat dari dalam diri mereka, energi yang ingin mereka bagikan, keluarkan, lalu mereka tularkan kepada orang lain. Membuatnya semakin bercahaya. Indah, alami, dan sangat sederhana!
      
Mereka adalah sedikit anak-anak yang terbuang dari dunianya, terasingkan, tersingkirkan, terbengkalai. Mereka adalah anak-anak yang terpaksa memilih bertahan hidup di jalanan, berteman dengan panas, dingin, bising serta tebalnya debu polusi. Mereka adalah anak-anak yang tinggal di pinggiran kota, pemukiman kumuh dengan aneka sampah dan barang rongsokan yang menjadi harta untuk menyambung hidup. Membantu kondisi keluarganya! Mereka adalah semangat yang terbuang! Tidak ada lagi permainan. Tidak ada lagi bangku sekolahan. Tidak merasakan lagi hangatnya sinar mentari saat upacara bendera.
           
Setiap hari, bahkan sebelum matahari menampakan wajahnya dari ufuk timur. Sebagian mereka sudah harus berjualan bersama Bapak Ibunya. Sebagian menemani sang mentari dengan mencari rezeki dari tumpukan sampah yang semakin menggunung. Sebagian lagi harus mengamen atau mengemis, mengharapkan belas kasih iba orang-orang di jalanan.
           
“Tuhan, begitu keraskah hidup ini?” Aku berkata dalam hati.
            
Sejak pertanyaan itu muncul dalam benakku, aku membagi sebagian waktu dan hidupku bersama mereka. Aku ingin membantu mereka semampuku, memberikan mereka semangat dan keyakinan yang harus mereka jaga. Selalu, selama-lamanya!
            
Namaku Veronika. Biasa dipanggil Vero. Sudah lebih dari 8 tahun aku merantau, hidup sendiri di kota ini. Kota besar yang menjadi pilihan banyak orang mewujudkan harapan dan mimpinya. Tapi siapa tahu? Tidak sedikit juga dari orang-orang itu malah justru terpuruk di kota ini. Tidak memiliki pekerjaan, tidak punya keahlian atau keterampilan. Menjadikan mereka terasing, tersingkir dan semakin jauh dari mimpinya. Semakin ditinggalkan, ditikam oleh keramaian kota. 
Sepi, perlahan menghilang!
            
Perjalananku di kota ini pun tidaklah mudah. Lima tahun pertama aku habiskan menjadi wanita malam di tempat karoke, bekerja sebagai pemandu lagu. Bermacam pengunjung dari berbagai tingkatan aku jumpai waktu itu, mulai dari pengangguran, mahasiswa, aparat, pengusaha, artis hinga pejabat hidung belang yang baru mencoba ‘nakal’.
            
Aku juga pernah bekerja di bar. Menghabiskan malam dengan gemerlap lampu dan bisingnya musik DJ. Tempat sebagian orang-orang putus asa melampiaskan emosi dan ekspresinya. Dari sanalah namaku semakin dikenal di kalangan atas. Berkibar harum bagai bendera pusaka. Ditunggu dan dipuja oleh mereka yang haus kehangatan, kenikmatan, dan kesenangan sesaat. Dari sana juga karierku sekarang sebagai model berawal.
            
Aku tahu, banyak dari kalangan mereka memangilku dengan sebutan pelacur malam. Sejujurnya, secara pribadi aku tak peduli dengan ucapan atau istilah yang mereka katakan. Aku hanya berfikir untuk bertahan dan melanjutkan hidupku. 
Catat! Aku bekerja profesional sesuai dengan pekerjaanku, entah sebagai pemandu lagu ataupun barista. Menemani para klien ngobrol di dalam atau luar ruangan. Banyak dari mereka yang meminta lebih atau berusaha mendekatiku dengan indahnya janji-janji, bergelimangan harta, karier, hingga jaminan hidup. Mungkin karena wajahku memang cantik, tak kalah dengan artis nasional yang tiap hari muncul di layar TV. Tapi semua usaha dan rayuan mereka aku tolak. Selalu aku tolak. 
Aku tidak pernah menjual diriku!
            
Aku masih mau menemani mereka ngobrol, makan atau menghadiri undangan acara mereka yang memang high class. Selama semuanya masih berada dalam batas wajar menurutku, tidak ada masalah. Aku bersedia. Lagian hal tersebut juga yang akan menambah koneksiku.
            
Kedekatanku dengan anak-anak jalanan berawal di suatu sore yang mendung. Tak sengaja mobilku menabrak seorang gadis kecil yang akhirnya kutahu namanya Indah. Untungnya, kejadian itu tidak membuat gadis kecil itu mengalami luka serius, hanya luka goresan kecil di kaki dan tangannya. Seketika aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Satu orang temannya ikut denganku, temannya yang lain menghubungi keluarganya.
            
Aku coba bayangkan lagi peristiwa itu. Sungguh, aku tak fokus. Fikiranku kacau karena ucapan seorang yang memiliki pengaruh besar di kota ini, kecewa, marah karena tawarannya aku tolak. Tidak tanggung-tanggung dia datang ke acara yang aku adakan dalam rangka merayakan kelulusanku. 
Di depan orang tua dan kerabat dekatku ia berkata dengan sangat lantang “Angkuh! Baru jadi pelacur saja sombong.” Itu kali pertama kudengar kalimat yang tak mengenakan hati tentangku. 
Kata yang setelahnya menjadi viral beredar untuk menyebut identitas atau mencari siapa aku.
            
Secara pribadi aku masih bisa menerima perkataan itu, karena aku tidak pernah peduli dengan apapun cibiran mereka. yang membuatku kesal dan marah adalah kalimat itu terlontar di hadapan orang tuaku! Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa pada mereka, malu rasanya diri ini! Niat ingin membuat orang tuaku bangga akan keberhasilanku dengan mengundangnya hadir, yang terjadi justru seperti melumuri wajah mereka dengan kotoran. 
Tak berapa lama kerabatku pun pergi meninggalkan acara, begitu juga dengan orang tuaku. Mereka langsung memutuskan kembali pulang ke kampung tak lama berselang. Acaraku gagal karena ucapan seseorang yang tak bisa dipertanggung jawabkan.
            
Dalam kesendirian hati, aku pergi menuju apartemen kekasihku sore itu. Tujuanku ingin menumpahkan segala yang kurasa padanya. Orang yang aku cinta, orang yang aku percaya, orang yang menemaniku selama ini. 
Tiba di apartemennya, aku dengar suara tak biasa dari dalam, aku lihat kekasihku sedang bercumbu dengan wanita lain, temanku sendiri! Aku banting pintu apartemennya, sambil menahan tangis yang pecah aku kemudikan mobil dengan perasaan campur aduk. 
Telat mengerem ketika lampu hijau berganti merah, saat itulah aku menabrak Indah yang sedang melintas di jalan.
            
Masih di rumah sakit, dokter telah mengobati luka Indah. Aku menghampirinya seraya berkata, “Maafkan Kakak ya Dik, Kakak tidak sengaja.” Dengan senyum kecilnya Indah membalas ucapanku, “Iya tidak apa-apa Kak, mungkin aku juga yang kurang hati-hati menyebrangnya.” 
Ucapannya membuatku kagum akan sosok gadis kecil ini. Aku hanya membalas dengan senyuman, tanganku mengelus rambutnya.
            
Tak berapa lama orang tuanya datang ditemani teman Indah dengan khawatir. Aku menyapa mereka dengan melontarkan maaf. “ Pak, Bu maafkan saya, saya kurang fokus mengendarai mobil. Semuanya salah saya, saya akan bertanggung jawab atas kejadian ini hingga puteri Bapak, Ibu pulh kembali.” Dengan melontarkan senyum lirih Ibu Indah membalas perkataanku, “Sudahlah Nak, namanya juga musibah. Iya kami percaya, kami juga sudah memaafkan. Terima kasih juga telah membawa Indah ke rumah sakit untuk segera diobati.” 
“Sekarang Indah sudah boleh pulang, mari Bu saya antar sekalian.” Aku berkata lagi, menawarkan diri mengantarkan mereka semua.
            
Memasuki sebuah pemukiman kumuh dengan jalan berlubang yang sempit. Mobilku tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan. 
“Kita jalan dari sini Nak.” Suara Bapaknya mengajakku. 
“Iya Pak, mari.” Jawabku. 
“Gangnya sempit, tidak cukup luas untuk jalan mobil.” Ibunya menambahkan. 
“Tidak apa-apa Bu.” Jawabku sambil tersenyum.
            
Sekitar lima menit kami berjalan melewati tumpukan pembuangan sampah dengan aroma yang sangat menyengat. Tibalah di rumah Indah, sebuah rumah yang sangat-sangat sederhana. Rumah yang tidak layak huni sebenarnya. Rumah beralaskan tanah dengan ventilasi seadanya yang lebih mirip gubug reot atau warung remang-remang di pinggir jalan. Sempit, pengap!
            
Aku tertegun melihat kondisi keluarga ini, dalam hati aku berkata, “ Tuhan maafkan aku karena aku sering mengeluh, sekarang aku tahu bahwa masih banyak orang yang jauh lebih sulit daripada aku.” Aku sadar ternyata masalah yang aku hadapi tidak seberapa jika dibandingkan dengan masalah yang mereka hadapi setiap hari. 
Lamunanku di kagetkan oleh perkataan Ibu Indah. “Maaf hanya air putih dan beginilah adanya Nak. Silakan diminum.” Mukanya menoleh padaku, tangannya membawa air minum dalam gelas kecil sebagai tanda menyambutku.” 
“Oh iya, tidak apa-apa Bu, maaf malah jadi merepotkan.” Jawabku sedikit terbata. 
“Ah, tidak Nak, tidak merepotkan hanya air putih yang bisa kami sugukan, silakan diminum.” Tawarnya dengan halus. 
“Iya Bu terima kasih.” Jawabku.
            
Kami duduk bersama dalam kamar berukuran sekitar 3x4 meter. Di hadapan kami Indah berbaring di ranjang kumuhnya. Sambil meminum air putih yang disediakan tuan rumah aku melamun, kosong. Entah apa yang kufikirkan.
            
Beberapa menit berlalu, aku hampiri Indah yang masih berbaring, “sekali lagi maafkan Kakak ya  Indah, semoga Indah cepat sembuh.” Ucapku lembut diiringi senyuman, tanganku membelai rambutnya. 
Dengan melepaskan senyum kecilnya Ia menjawab, “Iya Kak, terima kasih. Oh iya Kakak siapa namanya?” Indah bertanya. 
“Oh ya, kenalkan nama Kakak Veronika, Indah bisa panggil Kakak dengan sebutan Kak Vero.” Kataku menjelaskan. 
“Baiklah Kak Vero, Kak Vero pulangnya hati-hati ya.” Perkataannya lembut terdengar, begitu menyejukan. 
Aku balas dengan secarik senyum serta berkata, “ terima kasih ya Indah.”
            
Sebelum pergi aku sempatkan pamit kepada Ibu dan Bapaknya. Tak lupa aku memberikan sedikit biaya untuk berobat. Awalnya Ibu Indah menolak pemberianku dengan berkata, “Jangan Nak, ini sudah cukup.” 
“Tidak apa-apa Bu, aku sudah berjanji akan mengobati Indah sampai sembuh lagi. Ibu ambilah sedikit uang ini, barangkali bisa digunakan untuk membeli sesuatu untuk Indah.” Aku kembali meyakinkan. 
“Ya sudah kalau begitu, sekali lagi terima kasih banyak ya Nak.” Ibu berkata lagi, terlihat matanya berkaca haru. Bapak Indah berada di sebelahnya hanya tersenyum kecil. 
“Iya Bu, sama-sama. Aku pamit dulu, insyaa allah besok atau lusa aku mampir lagi ke sini. Oh iya, ini kartu namaku, jika ada sesuatu jangan segan untuk menelponku Bu, Pak.” Aku pamit sambil memberikan kartu nama.
            
Bersama Ibu dan juga Dimas teman Indah aku berajalan menyelusuri gang kecil menuju mobilku. Akhirnya sore itu aku kembali ke apartemenku dengan perasaan yang entah bagaimana aku mengungkapkannya. Kejadian yang aku alami hari ini di sebuah acara yang kubuat, kejadian yang aku lihat di apartemen kekasihku dengan kejadian yang baru saja kualami di rumah Indah. Rasa haruku berhasil membuat rasa kesalku hilang. Dalam lamunan aku bersyukur menjadi diriku.

Sejak saat itu aku membagi waktu dan kehidupanku untuk berbagi bersama Indah dan lingkungannya. Aku lupakan semua masalah yang tak mengenakanku. Aku sadar hidupku masih jauh lebih berwarna jika dibandingkan dengan kehidupan orang lain di sekitarku, tidak ada alasan untukku mengeluh, atau merasa seolah yang paling tidak beruntung.

Keesokan harinya, setelah jadwal pemotretan, aku datang kembali ke rumah Indah. Indah terlihat sedang membantu Ibunya mencari barang-barang bekas yang masih bisa dijual. 
“Selamat sore, Bu. Selamat sore Indah, bagaimana kabarnya?” 
“Nak Vero, selamat sore juga, maaf Nak tangan Ibu kotor.” Jawab Ibu Indah. 
Sambil tersenyum aku jawab, “tidak apa-apa Bu jangan sungkan. 
“Sore Kak Vero, Kakak cantik sekali, Alhamdulillah Kak, aku sudah sembuh. Hanya tinggal bekas lukanya saja sedikit.” 
“Syukur Alhamdulillah, Indah sudah sehat lagi sekarang, sudah bisa beraktivitas lagi. Terima kasih, Indah juga cantik.” Balasku pada Indah.

Ibu Indah mengajakku ke rumah, sekaligus menyudahi kegiatannya. Di perjalanan terlihat tawa riang seorang gadis kecil bernama Indah. Ia bercerita dengan cerianya, lugu, polos, apa adanya. Aku tersenyum bahagia melihatnya, merasakan seolah memiliki seoang adik perempuan yang masih kecil. Aku memang anak bungsu di keluarga, kakakku seorang perempuan, sudah berkeluarga dan tinggal bersama suaminya. Rumahnya masih berdekatan dengan rumah orang tuaku. Itu juga hal yang membuatku tidak terlalu khawatir jauh dari orang tua, dan memilih merantau sendiri di kota orang.

Teman-teman Indah datang menghampiri, Dimas, Seno, Ali, Dwi, Aca, dan Ranti. Indah berpamitan dan pergi bermain dengan teman-temannya. Ibunya hanya berpesan “Jangan main terlalu jauh Indah, hari sudah mulai sore.” 
“Iya Ibu.” Begitu balas Indah terdengar.

Di dalam rumah, aku banyak menghabiskan waktu mendengarkan cerita dari Ibu. Ibu bercerita tentang kehidupannya, lingkungannya, Indah yang sudah tidak sekolah dan harus ikut membantu keluarganya. Bahkan hampir seluruh temannya tadi sudah putus sekolah. Sebagian besar masalahnya adalah ekonomi keluarga yang jauh dari kata pas-pasan.

Aku mendengarkan semua cerita Ibu dengan seluruh jiwaku, hikmat, fokus. Saat itu empatiku tergugah, fikiranku melayang jauh, aku bekata dalam hati, “Aku harus melakukan sesuatu untuk mereka semua. Aku harus ada dan hadir di sini.” 
Aku bulatkan tekad untuk membantu mereka dengan caraku, sebisaku, semampu kulakukan.

Minggu-minggu berikutnya aku terus datang memberikan buku-buku bacaan, membangun taman baca sederhana. Sebuah tempat sederhana yang berhasil kusulap menjadi tempat bermain dan membaca. Bersama warga sekitar yang menyambut serta mendukung kehadiranku, sungguh! Aku merasakan menjadi orang yang berbeda kala itu, tidak hanya seonggok daging dengan nama manusia. Aku merasa berguna, bermanfaat bagi yang lain. 
Bahagia rasanya, rasa bahagia yang benar-benar hadir dalam lubuk hatiku.

Hari ini aku berada di sebuah café untuk bertemu dengan seorang pejabat. Pejabat yang sudah lama kukenal semenjak aku masih menjalani kehidupan malamku dulu. Kita janji bertemu, membicarakan tentang rencana pembangunan yayasan untuk anak-anak jalanan. Menyediakan fasilitas, memberikan ilmu dan keterampilan untuk mereka yang membutuhkan. Tampaknya rencanaku akan berhasil, beliau sangat mendukung aksiku, ditambah sudah ada beberapa teman, relawan, dan pengusaha yang ikut bergerak bersamaku. Mereka semua mendukungku, baik secara moril ataupun materil. 
Semoga menjadi!

Masih di dalam café membahas rencanaku membangun yayasan. Di hadapanku lewat seseorang yang dahulu pernah mengatakan aku pelacur menggandeng perempuan muda yang kutahu bukan istri sahnya. 
Dalam hati aku berkata puas, sebenarnya siapa yang pelacur aku atau anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  GAMBARAN DIRI GURU PENGGERAK TIGA TAHUN KE DEPAN   Jika disederhanakan dalam dua kata saya ingin terus BELAJAR dan BERBAGI.   As...