Mereka Menyebutku Pelacur!
“Baiklah adik-adik, sekarang Kakak
harus pulang dulu. Kalian lanjutkan membacanya. Selalu ingat membaca membawa
kita menjelajahi dunia, membaca membuat kita tahu lebih banyak tentang berbagai
hal di dunia ini” kataku sebelum pergi.
“Terima kasih ya Kak Vero.” Ucap Indah seorang bocah perempuan berusia 10 tahun dengan senyum yang terlihat tulus mengembang di bibirnya.
“Terima kasih untuk buku-bukunya Kak Vero, kami senang sekali” Dimas menambahkan.
Seorang anak lelaki sulung di keluarganya, berusia 13 tahun yang terpaksa berhenti sekolah karena biaya hidup yang semakin mencekik.
“Iya, sama-sama sayang. Belajar yang rajin ya. Jangan pernah berhenti berharap, teruslah berdoa dan berusaha.” Kataku lagi sambil duduk dengan tumpuan kedua lutut di tanah, tanganku mengusap rambut mereka satu per satu.
“Terima kasih ya Kak Vero.” Ucap Indah seorang bocah perempuan berusia 10 tahun dengan senyum yang terlihat tulus mengembang di bibirnya.
“Terima kasih untuk buku-bukunya Kak Vero, kami senang sekali” Dimas menambahkan.
Seorang anak lelaki sulung di keluarganya, berusia 13 tahun yang terpaksa berhenti sekolah karena biaya hidup yang semakin mencekik.
“Iya, sama-sama sayang. Belajar yang rajin ya. Jangan pernah berhenti berharap, teruslah berdoa dan berusaha.” Kataku lagi sambil duduk dengan tumpuan kedua lutut di tanah, tanganku mengusap rambut mereka satu per satu.
Aku lihat lebih dalam detik-detik
berlalu saat itu. Aku lihat tatapan-tatapan harapan dari sorot mata mereka. aku
rasakan sinar energi semangat dari dalam diri mereka, energi yang ingin mereka
bagikan, keluarkan, lalu mereka tularkan kepada orang lain. Membuatnya semakin
bercahaya. Indah, alami, dan sangat sederhana!
Mereka adalah sedikit anak-anak yang
terbuang dari dunianya, terasingkan, tersingkirkan, terbengkalai. Mereka adalah
anak-anak yang terpaksa memilih bertahan hidup di jalanan, berteman dengan
panas, dingin, bising serta tebalnya debu polusi. Mereka adalah anak-anak yang
tinggal di pinggiran kota, pemukiman kumuh dengan aneka sampah dan barang
rongsokan yang menjadi harta untuk menyambung hidup. Membantu kondisi
keluarganya! Mereka adalah semangat yang terbuang! Tidak ada lagi permainan.
Tidak ada lagi bangku sekolahan. Tidak merasakan lagi hangatnya sinar mentari
saat upacara bendera.
Setiap hari, bahkan sebelum matahari
menampakan wajahnya dari ufuk timur. Sebagian mereka sudah harus berjualan
bersama Bapak Ibunya. Sebagian menemani sang mentari dengan mencari rezeki dari
tumpukan sampah yang semakin menggunung. Sebagian lagi harus mengamen atau
mengemis, mengharapkan belas kasih iba orang-orang di jalanan.
“Tuhan, begitu keraskah hidup ini?”
Aku berkata dalam hati.
Sejak pertanyaan itu muncul dalam
benakku, aku membagi sebagian waktu dan hidupku bersama mereka. Aku ingin
membantu mereka semampuku, memberikan mereka semangat dan keyakinan yang harus
mereka jaga. Selalu, selama-lamanya!
Namaku Veronika. Biasa dipanggil
Vero. Sudah lebih dari 8 tahun aku merantau, hidup sendiri di kota ini. Kota
besar yang menjadi pilihan banyak orang mewujudkan harapan dan mimpinya. Tapi
siapa tahu? Tidak sedikit juga dari orang-orang itu malah justru terpuruk di
kota ini. Tidak memiliki pekerjaan, tidak punya keahlian atau keterampilan.
Menjadikan mereka terasing, tersingkir dan semakin jauh dari mimpinya. Semakin
ditinggalkan, ditikam oleh keramaian kota.
Sepi, perlahan menghilang!
Sepi, perlahan menghilang!
Perjalananku di kota ini pun
tidaklah mudah. Lima tahun pertama aku habiskan menjadi wanita malam di tempat
karoke, bekerja sebagai pemandu lagu. Bermacam pengunjung dari berbagai
tingkatan aku jumpai waktu itu, mulai dari pengangguran, mahasiswa, aparat,
pengusaha, artis hinga pejabat hidung belang yang baru mencoba ‘nakal’.
Aku juga pernah bekerja di bar.
Menghabiskan malam dengan gemerlap lampu dan bisingnya musik DJ. Tempat
sebagian orang-orang putus asa melampiaskan emosi dan ekspresinya. Dari sanalah
namaku semakin dikenal di kalangan atas. Berkibar harum bagai bendera pusaka.
Ditunggu dan dipuja oleh mereka yang haus kehangatan, kenikmatan, dan
kesenangan sesaat. Dari sana juga karierku sekarang sebagai model berawal.
Aku tahu, banyak dari kalangan
mereka memangilku dengan sebutan pelacur malam. Sejujurnya, secara pribadi aku
tak peduli dengan ucapan atau istilah yang mereka katakan. Aku hanya berfikir
untuk bertahan dan melanjutkan hidupku.
Catat! Aku bekerja profesional sesuai dengan pekerjaanku, entah sebagai pemandu lagu ataupun barista. Menemani para klien ngobrol di dalam atau luar ruangan. Banyak dari mereka yang meminta lebih atau berusaha mendekatiku dengan indahnya janji-janji, bergelimangan harta, karier, hingga jaminan hidup. Mungkin karena wajahku memang cantik, tak kalah dengan artis nasional yang tiap hari muncul di layar TV. Tapi semua usaha dan rayuan mereka aku tolak. Selalu aku tolak.
Aku tidak pernah menjual diriku!
Catat! Aku bekerja profesional sesuai dengan pekerjaanku, entah sebagai pemandu lagu ataupun barista. Menemani para klien ngobrol di dalam atau luar ruangan. Banyak dari mereka yang meminta lebih atau berusaha mendekatiku dengan indahnya janji-janji, bergelimangan harta, karier, hingga jaminan hidup. Mungkin karena wajahku memang cantik, tak kalah dengan artis nasional yang tiap hari muncul di layar TV. Tapi semua usaha dan rayuan mereka aku tolak. Selalu aku tolak.
Aku tidak pernah menjual diriku!
Aku masih mau menemani mereka
ngobrol, makan atau menghadiri undangan acara mereka yang memang high class.
Selama semuanya masih berada dalam batas wajar menurutku, tidak ada masalah.
Aku bersedia. Lagian hal tersebut juga yang akan menambah koneksiku.
Kedekatanku dengan anak-anak jalanan
berawal di suatu sore yang mendung. Tak sengaja mobilku menabrak seorang gadis
kecil yang akhirnya kutahu namanya Indah. Untungnya, kejadian itu tidak membuat
gadis kecil itu mengalami luka serius, hanya luka goresan kecil di kaki dan
tangannya. Seketika aku membawanya ke rumah sakit terdekat. Satu orang temannya ikut
denganku, temannya yang lain menghubungi keluarganya.
Aku coba bayangkan lagi peristiwa
itu. Sungguh, aku tak fokus. Fikiranku kacau karena ucapan seorang yang memiliki
pengaruh besar di kota ini, kecewa, marah karena tawarannya aku tolak. Tidak
tanggung-tanggung dia datang ke acara yang aku adakan dalam rangka merayakan
kelulusanku.
Di depan orang tua dan kerabat dekatku ia berkata dengan sangat lantang “Angkuh! Baru jadi pelacur saja sombong.” Itu kali pertama kudengar kalimat yang tak mengenakan hati tentangku.
Kata yang setelahnya menjadi viral beredar untuk menyebut identitas atau mencari siapa aku.
Di depan orang tua dan kerabat dekatku ia berkata dengan sangat lantang “Angkuh! Baru jadi pelacur saja sombong.” Itu kali pertama kudengar kalimat yang tak mengenakan hati tentangku.
Kata yang setelahnya menjadi viral beredar untuk menyebut identitas atau mencari siapa aku.
Secara pribadi aku masih bisa
menerima perkataan itu, karena aku tidak pernah peduli dengan apapun cibiran
mereka. yang membuatku kesal dan marah adalah kalimat itu terlontar di hadapan
orang tuaku! Saat itu, aku tak tahu harus berbuat apa pada mereka, malu rasanya
diri ini! Niat ingin membuat orang tuaku bangga akan keberhasilanku dengan
mengundangnya hadir, yang terjadi justru seperti melumuri wajah mereka dengan
kotoran.
Tak berapa lama kerabatku pun pergi meninggalkan acara, begitu juga dengan orang tuaku. Mereka langsung memutuskan kembali pulang ke kampung tak lama berselang. Acaraku gagal karena ucapan seseorang yang tak bisa dipertanggung jawabkan.
Tak berapa lama kerabatku pun pergi meninggalkan acara, begitu juga dengan orang tuaku. Mereka langsung memutuskan kembali pulang ke kampung tak lama berselang. Acaraku gagal karena ucapan seseorang yang tak bisa dipertanggung jawabkan.
Dalam kesendirian hati, aku pergi
menuju apartemen kekasihku sore itu. Tujuanku ingin menumpahkan segala yang
kurasa padanya. Orang yang aku cinta, orang yang aku percaya, orang yang
menemaniku selama ini.
Tiba di apartemennya, aku dengar suara tak biasa dari dalam, aku lihat kekasihku sedang bercumbu dengan wanita lain, temanku sendiri! Aku banting pintu apartemennya, sambil menahan tangis yang pecah aku kemudikan mobil dengan perasaan campur aduk.
Telat mengerem ketika lampu hijau berganti merah, saat itulah aku menabrak Indah yang sedang melintas di jalan.
Tiba di apartemennya, aku dengar suara tak biasa dari dalam, aku lihat kekasihku sedang bercumbu dengan wanita lain, temanku sendiri! Aku banting pintu apartemennya, sambil menahan tangis yang pecah aku kemudikan mobil dengan perasaan campur aduk.
Telat mengerem ketika lampu hijau berganti merah, saat itulah aku menabrak Indah yang sedang melintas di jalan.
Masih di rumah sakit, dokter telah
mengobati luka Indah. Aku menghampirinya seraya berkata, “Maafkan Kakak ya Dik,
Kakak tidak sengaja.” Dengan senyum kecilnya Indah membalas ucapanku, “Iya
tidak apa-apa Kak, mungkin aku juga yang kurang hati-hati menyebrangnya.”
Ucapannya membuatku kagum akan sosok gadis kecil ini. Aku hanya membalas dengan senyuman, tanganku mengelus rambutnya.
Ucapannya membuatku kagum akan sosok gadis kecil ini. Aku hanya membalas dengan senyuman, tanganku mengelus rambutnya.
Tak berapa lama orang tuanya datang
ditemani teman Indah dengan khawatir. Aku menyapa mereka dengan melontarkan
maaf. “ Pak, Bu maafkan saya, saya kurang fokus mengendarai mobil. Semuanya
salah saya, saya akan bertanggung jawab atas kejadian ini hingga puteri Bapak,
Ibu pulh kembali.” Dengan melontarkan senyum lirih Ibu Indah membalas
perkataanku, “Sudahlah Nak, namanya juga musibah. Iya kami percaya, kami juga
sudah memaafkan. Terima kasih juga telah membawa Indah ke rumah sakit untuk segera
diobati.”
“Sekarang Indah sudah boleh pulang, mari Bu saya antar sekalian.” Aku berkata lagi, menawarkan diri mengantarkan mereka semua.
“Sekarang Indah sudah boleh pulang, mari Bu saya antar sekalian.” Aku berkata lagi, menawarkan diri mengantarkan mereka semua.
Memasuki sebuah pemukiman kumuh
dengan jalan berlubang yang sempit. Mobilku tidak bisa lagi melanjutkan
perjalanan.
“Kita jalan dari sini Nak.” Suara Bapaknya mengajakku.
“Iya Pak, mari.” Jawabku.
“Gangnya sempit, tidak cukup luas untuk jalan mobil.” Ibunya menambahkan.
“Tidak apa-apa Bu.” Jawabku sambil tersenyum.
“Kita jalan dari sini Nak.” Suara Bapaknya mengajakku.
“Iya Pak, mari.” Jawabku.
“Gangnya sempit, tidak cukup luas untuk jalan mobil.” Ibunya menambahkan.
“Tidak apa-apa Bu.” Jawabku sambil tersenyum.
Sekitar lima menit kami berjalan
melewati tumpukan pembuangan sampah dengan aroma yang sangat menyengat. Tibalah
di rumah Indah, sebuah rumah yang sangat-sangat sederhana. Rumah yang tidak
layak huni sebenarnya. Rumah beralaskan tanah dengan ventilasi seadanya yang
lebih mirip gubug reot atau warung remang-remang di pinggir jalan. Sempit,
pengap!
Aku tertegun melihat kondisi
keluarga ini, dalam hati aku berkata, “ Tuhan maafkan aku karena aku sering
mengeluh, sekarang aku tahu bahwa masih banyak orang yang jauh lebih sulit
daripada aku.” Aku sadar ternyata masalah yang aku hadapi tidak seberapa jika
dibandingkan dengan masalah yang mereka hadapi setiap hari.
Lamunanku di kagetkan oleh perkataan Ibu Indah. “Maaf hanya air putih dan beginilah adanya Nak. Silakan diminum.” Mukanya menoleh padaku, tangannya membawa air minum dalam gelas kecil sebagai tanda menyambutku.”
“Oh iya, tidak apa-apa Bu, maaf malah jadi merepotkan.” Jawabku sedikit terbata.
“Ah, tidak Nak, tidak merepotkan hanya air putih yang bisa kami sugukan, silakan diminum.” Tawarnya dengan halus.
“Iya Bu terima kasih.” Jawabku.
Lamunanku di kagetkan oleh perkataan Ibu Indah. “Maaf hanya air putih dan beginilah adanya Nak. Silakan diminum.” Mukanya menoleh padaku, tangannya membawa air minum dalam gelas kecil sebagai tanda menyambutku.”
“Oh iya, tidak apa-apa Bu, maaf malah jadi merepotkan.” Jawabku sedikit terbata.
“Ah, tidak Nak, tidak merepotkan hanya air putih yang bisa kami sugukan, silakan diminum.” Tawarnya dengan halus.
“Iya Bu terima kasih.” Jawabku.
Kami duduk bersama dalam kamar
berukuran sekitar 3x4 meter. Di hadapan kami Indah berbaring di ranjang
kumuhnya. Sambil meminum air putih yang disediakan tuan rumah aku melamun,
kosong. Entah apa yang kufikirkan.
Beberapa menit berlalu, aku hampiri
Indah yang masih berbaring, “sekali lagi maafkan Kakak ya Indah, semoga Indah cepat sembuh.” Ucapku
lembut diiringi senyuman, tanganku membelai rambutnya.
Dengan melepaskan senyum kecilnya Ia menjawab, “Iya Kak, terima kasih. Oh iya Kakak siapa namanya?” Indah bertanya.
“Oh ya, kenalkan nama Kakak Veronika, Indah bisa panggil Kakak dengan sebutan Kak Vero.” Kataku menjelaskan.
“Baiklah Kak Vero, Kak Vero pulangnya hati-hati ya.” Perkataannya lembut terdengar, begitu menyejukan.
Aku balas dengan secarik senyum serta berkata, “ terima kasih ya Indah.”
Dengan melepaskan senyum kecilnya Ia menjawab, “Iya Kak, terima kasih. Oh iya Kakak siapa namanya?” Indah bertanya.
“Oh ya, kenalkan nama Kakak Veronika, Indah bisa panggil Kakak dengan sebutan Kak Vero.” Kataku menjelaskan.
“Baiklah Kak Vero, Kak Vero pulangnya hati-hati ya.” Perkataannya lembut terdengar, begitu menyejukan.
Aku balas dengan secarik senyum serta berkata, “ terima kasih ya Indah.”
Sebelum pergi aku sempatkan pamit
kepada Ibu dan Bapaknya. Tak lupa aku memberikan sedikit biaya untuk berobat.
Awalnya Ibu Indah menolak pemberianku dengan berkata, “Jangan Nak, ini sudah
cukup.”
“Tidak apa-apa Bu, aku sudah berjanji akan mengobati Indah sampai sembuh lagi. Ibu ambilah sedikit uang ini, barangkali bisa digunakan untuk membeli sesuatu untuk Indah.” Aku kembali meyakinkan.
“Ya sudah kalau begitu, sekali lagi terima kasih banyak ya Nak.” Ibu berkata lagi, terlihat matanya berkaca haru. Bapak Indah berada di sebelahnya hanya tersenyum kecil.
“Iya Bu, sama-sama. Aku pamit dulu, insyaa allah besok atau lusa aku mampir lagi ke sini. Oh iya, ini kartu namaku, jika ada sesuatu jangan segan untuk menelponku Bu, Pak.” Aku pamit sambil memberikan kartu nama.
“Tidak apa-apa Bu, aku sudah berjanji akan mengobati Indah sampai sembuh lagi. Ibu ambilah sedikit uang ini, barangkali bisa digunakan untuk membeli sesuatu untuk Indah.” Aku kembali meyakinkan.
“Ya sudah kalau begitu, sekali lagi terima kasih banyak ya Nak.” Ibu berkata lagi, terlihat matanya berkaca haru. Bapak Indah berada di sebelahnya hanya tersenyum kecil.
“Iya Bu, sama-sama. Aku pamit dulu, insyaa allah besok atau lusa aku mampir lagi ke sini. Oh iya, ini kartu namaku, jika ada sesuatu jangan segan untuk menelponku Bu, Pak.” Aku pamit sambil memberikan kartu nama.
Bersama Ibu dan juga Dimas teman
Indah aku berajalan menyelusuri gang kecil menuju mobilku. Akhirnya sore itu
aku kembali ke apartemenku dengan perasaan yang entah bagaimana aku
mengungkapkannya. Kejadian yang aku alami hari ini di sebuah acara yang kubuat,
kejadian yang aku lihat di apartemen kekasihku dengan kejadian yang baru saja
kualami di rumah Indah. Rasa haruku berhasil membuat rasa kesalku hilang. Dalam
lamunan aku bersyukur menjadi diriku.
Sejak
saat itu aku membagi waktu dan kehidupanku untuk berbagi bersama Indah dan
lingkungannya. Aku lupakan semua masalah yang tak mengenakanku. Aku sadar
hidupku masih jauh lebih berwarna jika dibandingkan dengan kehidupan orang lain
di sekitarku, tidak ada alasan untukku mengeluh, atau merasa seolah yang paling
tidak beruntung.
Keesokan
harinya, setelah jadwal pemotretan, aku datang kembali ke rumah Indah. Indah
terlihat sedang membantu Ibunya mencari barang-barang bekas yang masih bisa
dijual.
“Selamat sore, Bu. Selamat sore Indah, bagaimana kabarnya?”
“Nak Vero, selamat sore juga, maaf Nak tangan Ibu kotor.” Jawab Ibu Indah.
Sambil tersenyum aku jawab, “tidak apa-apa Bu jangan sungkan.
“Sore Kak Vero, Kakak cantik sekali, Alhamdulillah Kak, aku sudah sembuh. Hanya tinggal bekas lukanya saja sedikit.”
“Syukur Alhamdulillah, Indah sudah sehat lagi sekarang, sudah bisa beraktivitas lagi. Terima kasih, Indah juga cantik.” Balasku pada Indah.
“Selamat sore, Bu. Selamat sore Indah, bagaimana kabarnya?”
“Nak Vero, selamat sore juga, maaf Nak tangan Ibu kotor.” Jawab Ibu Indah.
Sambil tersenyum aku jawab, “tidak apa-apa Bu jangan sungkan.
“Sore Kak Vero, Kakak cantik sekali, Alhamdulillah Kak, aku sudah sembuh. Hanya tinggal bekas lukanya saja sedikit.”
“Syukur Alhamdulillah, Indah sudah sehat lagi sekarang, sudah bisa beraktivitas lagi. Terima kasih, Indah juga cantik.” Balasku pada Indah.
Ibu
Indah mengajakku ke rumah, sekaligus menyudahi kegiatannya. Di perjalanan
terlihat tawa riang seorang gadis kecil bernama Indah. Ia bercerita dengan
cerianya, lugu, polos, apa adanya. Aku tersenyum bahagia melihatnya, merasakan
seolah memiliki seoang adik perempuan yang masih kecil. Aku memang anak bungsu
di keluarga, kakakku seorang perempuan, sudah berkeluarga dan tinggal bersama
suaminya. Rumahnya masih berdekatan dengan rumah orang tuaku. Itu juga hal yang
membuatku tidak terlalu khawatir jauh dari orang tua, dan memilih merantau
sendiri di kota orang.
Teman-teman
Indah datang menghampiri, Dimas, Seno, Ali, Dwi, Aca, dan Ranti. Indah
berpamitan dan pergi bermain dengan teman-temannya. Ibunya hanya berpesan “Jangan
main terlalu jauh Indah, hari sudah mulai sore.”
“Iya Ibu.” Begitu balas Indah terdengar.
“Iya Ibu.” Begitu balas Indah terdengar.
Di
dalam rumah, aku banyak menghabiskan waktu mendengarkan cerita dari Ibu. Ibu
bercerita tentang kehidupannya, lingkungannya, Indah yang sudah tidak sekolah dan
harus ikut membantu keluarganya. Bahkan hampir seluruh temannya tadi sudah
putus sekolah. Sebagian besar masalahnya adalah ekonomi keluarga yang jauh dari
kata pas-pasan.
Aku
mendengarkan semua cerita Ibu dengan seluruh jiwaku, hikmat, fokus. Saat itu empatiku
tergugah, fikiranku melayang jauh, aku bekata dalam hati, “Aku harus melakukan
sesuatu untuk mereka semua. Aku harus ada dan hadir di sini.”
Aku bulatkan tekad untuk membantu mereka dengan caraku, sebisaku, semampu kulakukan.
Aku bulatkan tekad untuk membantu mereka dengan caraku, sebisaku, semampu kulakukan.
Minggu-minggu
berikutnya aku terus datang memberikan buku-buku bacaan, membangun taman baca
sederhana. Sebuah tempat sederhana yang berhasil kusulap menjadi tempat bermain
dan membaca. Bersama warga sekitar yang menyambut serta mendukung kehadiranku,
sungguh! Aku merasakan menjadi orang yang berbeda kala itu, tidak hanya
seonggok daging dengan nama manusia. Aku merasa berguna, bermanfaat bagi yang
lain.
Bahagia rasanya, rasa bahagia yang benar-benar hadir dalam lubuk hatiku.
Bahagia rasanya, rasa bahagia yang benar-benar hadir dalam lubuk hatiku.
Hari
ini aku berada di sebuah café untuk bertemu dengan seorang pejabat. Pejabat
yang sudah lama kukenal semenjak aku masih menjalani kehidupan malamku dulu.
Kita janji bertemu, membicarakan tentang rencana pembangunan yayasan untuk
anak-anak jalanan. Menyediakan fasilitas, memberikan ilmu dan keterampilan untuk
mereka yang membutuhkan. Tampaknya rencanaku akan berhasil, beliau sangat
mendukung aksiku, ditambah sudah ada beberapa teman, relawan, dan pengusaha
yang ikut bergerak bersamaku. Mereka semua mendukungku, baik secara moril
ataupun materil.
Semoga menjadi!
Semoga menjadi!
Masih
di dalam café membahas rencanaku membangun yayasan. Di hadapanku lewat
seseorang yang dahulu pernah mengatakan aku pelacur menggandeng perempuan muda
yang kutahu bukan istri sahnya.
Dalam hati aku berkata puas, sebenarnya siapa yang pelacur aku atau anda?
Dalam hati aku berkata puas, sebenarnya siapa yang pelacur aku atau anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar