KARENA HARAPAN
Seperti
biasa, rutinitasku setiap minggu pagi adalah lari kecil di sekitar rumah,
selain berolahraga, aku juga bisa menyapa tetangga lamaku di sini. Tempat di
mana aku dibesarkan, melewati setiap pahit dan perihnya kehidupan.
Hpku
berdering, sebuah pesan singkat masuk. Kubuka dan kubaca isinya “Selamat bonus
harian anda telah masuk ke dalam rekening XXX-XXX-XXXX.” Senyumku tersimpul
melihat isi pesan bonus harian yang baru aku terima. Kutengguk air putih segar
sambil duduk menghadap rumah orang tuaku yang baru saja kubangun. Rasa banggaku
bangkit, akhirnya aku bisa melihat rumah orang tuaku tampak seperti rumah,
tidak lagi terlihat kumuh seperti gudang rongsokan yang hampir runtuh, tak
terawat oleh tumpukan sampah.
Masih
duduk santai menghadap rumah, aku teringat setiap peristiwa yang aku alami saat
kecil dulu di tempat ini. Akan aku ceritakan sedikit, namaku Indri. Indriwati
lengkapnya. Anak ketiga dari lima bersaudara. Kedua kakakku sudah berkeluarga
dan memilih tinggal sendiri membangun keluarga kecilnya masing-masing, sama
seperti kebanyakan orang yang telah berkeluarga.
Sebagai
anak ketiga, aku menjadi tulang punggung untuk keluargaku di sini. Bapakku
sudah tidak bekerja setelah kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh. Setiap hari
beliau hanya berbaring di rumah, sesekali mencoba memperbaiki barang elektronik
yang rusak seperti radio, kipas angin, TV dan lainnya untuk mengisi waktu. Tapi
kondisinya semakin memburuk sejak saat itu. Bapak sering sakit-sakitan. Ibuku
hanya seorang buruh cuci di rumah tetangga. Ibu terpaksa bekerja membanting
tulang menggantikan peran Bapak dalam keluarga. Ibu terpaksa harus bekerja
serabutan untuk membiayai aku dan kedua adikku bersekolah, untuk makan
sehari-hari, memenuhi biaya kebutuhan hidup yang tak pernah cukup. Sesekali
uang yang hanya sedikit didapatnya itu ia sisakan untuk berobat Bapak atau
sekedar jaga-jaga jika ada keperluan mendesak.
Usiaku
sudah dua belas tahun, aku masih duduk di bangku kelas V SD. Sekelas dengan
kedua adikku Rina dan Rani. Mereka kembar, usianya sepuluh tahun, dua tahun
lebih muda dariku. Mereka adik kandungku dan juga teman sekelasku. Ya aku
memang telat untuk masuk sekolah dasar. Aku baru bersekolah ketika kedua adikku
bersekolah. Entah kenapa sebabnya, aku tak tahu. Pernah aku bertanya kepada
orang tuaku, mereka mengatakan aku nakal ketika kecil dulu, aku tidak pernah
mau dibujuk untuk sekolah. Jujur, hingga kini aku masih sering bertanya pada
diri sendiri kenapa sebabnya, memang seperti yang orang tuaku katakan, atau karena
ada hal lain yang membuat aku terlambat sekolah. Orang tuaku tak mampu
misalnya, atau ini atau itu atau lainnya. Entahlah, yang jelas begitulah
adanya.
Semua
teman kelasku memanggilku dengan sebutan ‘Mbak’. Semenjak SD aku memang lebih
dihormati oleh orang lain, aku seperti magnet tersendiri untuk teman-temanku.
energiku bisa membuat teman-temanku mendekat, mengikutiku. Di dalam kelas aku
selalu mendapat peringkat tiga besar, tapi aku tidak termasuk orang yang cerdas.
Menurutku itu bukan karena aku pintar tetapi karena usiaku lebih tua dari yang
lain, sehingga dapat lebih memahami pelajaran yang diberikan guruku.
Sepulang
sekolah, seperti hari-hari sebelumnya aku dan kedua adikku menghabiskan waktu
hingga sore hari di jalanan, mengamen di lampu merah tepatnya. Kegiatan ini
terpaksa aku lakukan untuk membantu keuangan di rumah. Aku tak tega melihat Ibu
bekerja membanting tulang sendirian, yang hasilnya tak seberapa. Untuk memenuhi
makanan kami setiap hari dengan layak saja masih sangat kurang. Belum lagi jika
ditambah keperluan sekolah atau berobat Bapak. Sedih rasanya melihat kondisi
ini.
Aku
masih terlalu kecil untuk mendapatkan pekerjaan di kantoran memakai seragam
seperti harapan banyak orang, dibanggakan oleh keluarganya, ditunggu
kehadirannya setiap saat dan setiap waktu. Hari-hariku lalui dengan sangat
sederhana, kami terbiasa untuk makan sepiring bertiga dengan lauk seadanya.
Bisa makan dua kali sehari saja sudah sangat mewah rasanya.
Awalnya
aku merasa malu jika bertemu teman-teman atau guruku ketika sedang mengamen di
jalanan. Aku dan kedua Adikku sering langsung lari menghindar, mengumpat di
balik bengunan tua atau warung pinggir jalan hanya karena tidak ingin terlihat
oleh mereka. tapi itu tak berjalan lama, pada akhirnya semua teman-temanku,
semua guruku, dan satu sekolah tahu bahwa setiap siang hingga sore hari aku
mengamen di lampu merah. Aku bersyukur semua guruku dan sebagian temanku mau
mengerti akan pilihanku, sebagian temanku yang lain masih suka mengejek dan
menyindir kalau aku anak orang tidak mampu, anak orang miskin.
Hati
ini menangis rasanya ketika ada teman-teman yang mengejek atau mengolok-ngolok
walau aku tahu niat mereka hanya bercanda. Tapi apalah daya, tangisanku dan
Adik tidak akan mampu mengubah keadaan dan akhirnya waktu juga yang menjawab.
Aku semakin kebal dengan ejekan mereka, merekapun mungkin lelah untuk
mengejekku. Teman-teman yang lain sering membelaku ketika aku ditertawakan.
Satu
hari yang selalu aku ingat adalah ketika Ibu sakit. Kami tidak memiliki uang
simpanan sedikitpun. Kami tidak memiliki beras atau makanan untuk dimakan. Aku
coba untuk meminjam kepada tetangga tetapi tidak ada yang memberi, aku coba
menghubungi kedua Kakakku tapi mereka terlalu sibuk dengan keluarganya. Aku dan
Adikku Rina, Rani hanya menangis bersimpuh doa memohon kepada Tuhan agar Ibu
sembuh seperti sedia kala sambil menahan rasa lapar di perut kami. Sejak saat
itulah aku dan kedua Adikku memutuskan untuk mengamen. Membantu ibu memenuhi
kebutuhan sehari-hari, minimalnya untuk jajan kami sendiri atau lebih baik lagi
jika bisa kami tabung untuk keperluan sekolah.
Oh
ya kedua Kakaku biasanya hanya datang berkunjung ketika hari lebaran tiba. Dua
hari yang sangat indah untukku, untuk kami sekeluarga. Beban ini terasa hilang
sebagian atau menjadi lebih ringan ketika kedua Kakakku datang. Sayangnya hanya
beberapa hari saja mereka ada di rumah. Selebihnya mereka kembali kepada
keluarganya masing-masing. Tapi aku tetap bersyukur setidaknya mereka masih
mengingat keluarganya di sini. Mereka masih mengingat aku dan Adikku, mereka
masih ingat Ibu dan Bapaknya.
Kelas dua SMP aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sudah tak sanggup lagi rasanya menggapai cita-citaku dengan bersekolah tinggi setinggi-tingginya seperti yang lain. Aku berhenti sekolah, beranji untuk bisa menopang biaya sekolah kedua Adikku. Adikku adalah harapan lain yang harus aku pertahankan. Aku perjuangkan! Aku berjanji dalam hati agar mereka tetap sekolah hingga lulus SMU minimalnya. Aku akan mencari biayanya entah darimana dan bagaimana.
Sejak
itu hariku dihabiskan di jalanan, dari pagi hingga petang. Tidak hanya di lampu
merah, aku juga sering untuk mengamen di bus. Naik turun naik turun bus entah
di mana sampai mana lalu kemana dan akhirnya kembali ke tempatku lagi hal biasa
yang aku lalui. Panasnya matahari dan dinginnya hujan semakin membentuk siapa
dan untuk apa aku dilahirkan. Alhamdulillah, yang aku niatkan, yang aku doakan
setiap hari tidaklah sia-sia. Aku bisa menyekolahkan adikku hingga mereka lulus
SMU. Selepas SMU kedua Adikku bekerja di Mall dan Dealer motor. Hanya sebagai
SPG tapi itu sudah membuatku bersyukur, karena artinya adikku sudah mampu untuk
membiayai hidupnya dan membantu meringankan bebanku atau keluarganya.
Usiaku
dua puluh tahun waktu itu, berada di sebuah ruangan kecil. Sebuah petak kost
yang diubah menjadi entah tempat apa. Aku duduk diajak temanku Dion
mendengarkan ceramah temannya yang lain, yang berdiri dihadapan kami
mempromosikan sesuatu yang aku belum mengerti. Ada sekitar delapan orang di sana,
sebuah ruangan kecil yang sangat bergemuruh riuh dengan teriakan LUAR BIASA, WAW,
DAHSYAT, MANTAP! Dari orang-orang lain yang aku kira sekelompoknya memberikan
semangat yang terdengar mengada-ada dan dipaksakan. Hingga selesai ceramah aku
dibujuk untuk bergabung dengan kelompok mereka, tapi langsung aku tolak dengan
dua alasan. Yang pertama aku tidak memiliki uang untuk membayar atau membeli
produk jika bergabung dengan mereka. kedua aku belum terlalu mengerti apa yang
harus aku lakukan jika aku bergabung. Hari itu aku kembali ke rumah dengan
menolak halus ajakan temanku.
Sampai
di rumah fikiranku masih teringat dengan apa yang aku lihat, aku dengar siang
tadi. Ada rasa tertarik terbesit masuk dalam jiwaku, membayangkan bonus
nominal-nominal angka rupiah benar masuk ke dalam rekeningku sendiri. Indah
rasanya! Khayalanku langsung segera aku singkirkan, aku sadar aku bukan orang
yang pantas seperti mereka yang mampu, aku hanya orang yang terbiasa
kekurangan, aku hanya orang yang harus berpeluh-peluh untuk bertahan.
Seminggu
telah berlalu, temanku Dion belum menyerah membujukku. Kali ini ia memintaku
datang bersamanya lagi ke sebuah hall hotel mewah di daerahku. Ada acara
spesial katanya. Aku menurutinya karena memang selama ini ia sudah telalu
banyak membantuku sekaligus masih ada rasa penasaran dalam diriku tentang
ajakannya. Ucapannya benar, berada di dalam sebuah hall hotel yang mewah
seperti berada di dalam istana raja rasanya. Baru kali ini aku rasakan, baru
kali ini aku menginjakan kaki masuk dalam sebuah hotel. Keren rasanya!
Suasana jauh lebih bergemuruh, jauh lebih bersemangat dari minggu lalu di petak
kost kecil. Di sini semuanya terasa lebih bernyawa. Penuh gairah energi, penuh
semangat. Tidak lagi terdengar dipaksakan. Aku perhatikan setiap detail yang
mereka katakan di depan gedung. Aku tanyakan kepada diriku sendiri, “Apakah aku
bisa? Apakah aku pantas?” pertanyaan itu yang muncul dalam benakku, dan belum
kujawab.
Selesai
acara Dion memperkenalkan temannya yang lain, leadernya katanya. Seorang lelaki
muda dengan jas rapi tampak seperti orang sukses dan berpendidikan tinggi
menyapaku ramah. Ia menyakinkanku dengan sungguh-sungguh. Aku menyimak semua
ucapannya sesekali aku tanyakan yang belum aku pahami. Sampai ada perkataannya
yang mengoyak hatiku, ia benar aku hanya lulusan SD, tidak tamat SMP.
Perusahaan atau kantor mana yang mau memperkerjakan aku atau mau menggunakan
tenagaku. Pertanyaan lain muncul dalam benakku “ Apakah aku akan selamanya
berada di jalanan?, mengharap belas kasih iba orang-orang yang melihatku?”
Tidak, aku tidak mau! Ia benar, ini sebuah peluang yang datang, mungkin hanya
sekali ini saja. Peluang yang dapat merubah hidupku, atau menghidupkan kembali
cita-citaku. Aku bulatkan hati dan tekadku. Aku putuskan untuk bergabung dengan
mereka, aku menuruti ajakan temanku Dion. Aku bergabung dengan perusahaan MLM
terkenal menurut mereka.
Sejak
saat itu kegitanku di jalanan sedikit berkurang, aku harus membagi waktu untuk
belajar persentasi materi dan mengajak orang-orang lain bergabung. Membangun
sebuah jaring-jaring piramida. Kiri kanan-kanan kiri, hanya dua jaring. Jaring
yang akan membuat hidupku lebih berarti. Sayangnya menjalankan sebuah bisnis
MLM tidak senikmat membayangkan aliran bonus yang akan masuk ke dalam rekening
kita, tidak semudah ucapan leader-leader saat persentasi dan meyakinkan orang
dalam acara yang mereka sebut seminar atau OPP (open plan presentation).
Semangatku diguncang, kadang hidup kadang redup. Banyak dari orang yang kuajak
menutup diri sedari awal dengan yang namanya MLM. Baginya MLM seperti virus
berbahaya yang menular dan membuatnya mati. Aku tidak tertarik pekerjaan yang
mencari-mencari orang, aku tidak suka tingkatan-tingkatan, aku tidak mau yang
di atasku pasti dapat lebih banyak dari bonusku, aku tidak bisa berjualan, aku
tidak minat, dll alasan yang paling sering kudengar dari mulut mereka. Dalam
hatiku aku berkata "Pekerjaan mana di dunia ini yang tidak mencari atau
membutuhkan orang lain? Pekerajaan mana yang tidak ada tingkatan-tingkatan ob,
satpam, sales, sepervisor, manager, direktur bukankah semua itu tingkatan?
Tentu saja di mana-mana atasan kita selalu mendapat hasil lebih besar dari
kita, benarkan?" Tapi akupun tidak bisa memaksa pendirian atau pandangan mereka
semua. Kecewa tentu saja kurasakan, tapi aku tidak menyerah. Aku fikir ini
adalah satu-satunya peluang terbaik yang bisa aku miliki, aku harus berjuang, bertahan semampuku, mengerahkan seluruh keringat tenagaku!
Satu
bulan, dua bulan, tiga bulan, setengah tahun aku jalani. Dari rumah ke rumah, janjian
di tempat yang berbeda, membuka obrolan kepada orang yang aku temui di manapun,
bahkan orang yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Tindakanku berpacu dengan
semangatku yang kembang kempis. Yang aku pegang adalah sebuah kata dengan nama
harapan. Aku percaya harapan tidak akan pernah menjauh, menghilang pergi
meninggalkan orang-orang yang mempercayainya. Aku percaya itu, selalu percaya!
Hampir
dua tahun aku jatuh bangun membangun jaring-jaring kerajaanku. Dengan segala
peluh yang aku lewati, dengan segala perih yang aku rasakan, berbagai penolakan
hingga hinaan. Kini aku telah menjadi salah satu leader di kotaku. Aku telah
merasakan nyatanya bonus yang mengalir ke rekeningku tiap hari. Aku telah bisa
membeli kendaraan, dan membangun rumah untuk orang tuaku tinggal. Aku merasa
telah menjadi orang yang bisa berarti untuk keluargaku, untuk Ibu dan Bapakku,
untuk Adikku, untuk orang lain.
Aku
berhasil menggapai cita-citaku, aku bisa hidup lebih baik dari sebelumnya.
Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang aku miliki, aku tidak menyerah.
Aku tidak pernah menyerah. Aku tidak pernah kalah oleh pahit dan kerasnya
kehidupan!
Aku
yakin kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa, lahir kita
adalah takdir yang tidak bisa diubah. Tetapi nasib kita, kita sendiri yang
menentukannya. Bukan orang lain! Seperti ayat suci Alquran “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS.ar-Ra’d:11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar