Pesan Buku

Untuk pemesanan buku langsung hub >>
Email : aditamacrb@gmail.com /
Whatsapp : 082119801010
Pengiriman luar kota menggunakan JNE / Tiki / Pos
(No. Resi segera dikirim kepada pemesan)

★ Cerpen Karena Harapan


KARENA HARAPAN

Seperti biasa, rutinitasku setiap minggu pagi adalah lari kecil di sekitar rumah, selain berolahraga, aku juga bisa menyapa tetangga lamaku di sini. Tempat di mana aku dibesarkan, melewati setiap pahit dan perihnya kehidupan.

Hpku berdering, sebuah pesan singkat masuk. Kubuka dan kubaca isinya “Selamat bonus harian anda telah masuk ke dalam rekening XXX-XXX-XXXX.” Senyumku tersimpul melihat isi pesan bonus harian yang baru aku terima. Kutengguk air putih segar sambil duduk menghadap rumah orang tuaku yang baru saja kubangun. Rasa banggaku bangkit, akhirnya aku bisa melihat rumah orang tuaku tampak seperti rumah, tidak lagi terlihat kumuh seperti gudang rongsokan yang hampir runtuh, tak terawat oleh tumpukan sampah.

Masih duduk santai menghadap rumah, aku teringat setiap peristiwa yang aku alami saat kecil dulu di tempat ini. Akan aku ceritakan sedikit, namaku Indri. Indriwati lengkapnya. Anak ketiga dari lima bersaudara. Kedua kakakku sudah berkeluarga dan memilih tinggal sendiri membangun keluarga kecilnya masing-masing, sama seperti kebanyakan orang yang telah berkeluarga.

Sebagai anak ketiga, aku menjadi tulang punggung untuk keluargaku di sini. Bapakku sudah tidak bekerja setelah kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh. Setiap hari beliau hanya berbaring di rumah, sesekali mencoba memperbaiki barang elektronik yang rusak seperti radio, kipas angin, TV dan lainnya untuk mengisi waktu. Tapi kondisinya semakin memburuk sejak saat itu. Bapak sering sakit-sakitan. Ibuku hanya seorang buruh cuci di rumah tetangga. Ibu terpaksa bekerja membanting tulang menggantikan peran Bapak dalam keluarga. Ibu terpaksa harus bekerja serabutan untuk membiayai aku dan kedua adikku bersekolah, untuk makan sehari-hari, memenuhi biaya kebutuhan hidup yang tak pernah cukup. Sesekali uang yang hanya sedikit didapatnya itu ia sisakan untuk berobat Bapak atau sekedar jaga-jaga jika ada keperluan mendesak.

Usiaku sudah dua belas tahun, aku masih duduk di bangku kelas V SD. Sekelas dengan kedua adikku Rina dan Rani. Mereka kembar, usianya sepuluh tahun, dua tahun lebih muda dariku. Mereka adik kandungku dan juga teman sekelasku. Ya aku memang telat untuk masuk sekolah dasar. Aku baru bersekolah ketika kedua adikku bersekolah. Entah kenapa sebabnya, aku tak tahu. Pernah aku bertanya kepada orang tuaku, mereka mengatakan aku nakal ketika kecil dulu, aku tidak pernah mau dibujuk untuk sekolah. Jujur, hingga kini aku masih sering bertanya pada diri sendiri kenapa sebabnya, memang seperti yang orang tuaku katakan, atau karena ada hal lain yang membuat aku terlambat sekolah. Orang tuaku tak mampu misalnya, atau ini atau itu atau lainnya. Entahlah, yang jelas begitulah adanya.

Semua teman kelasku memanggilku dengan sebutan ‘Mbak’. Semenjak SD aku memang lebih dihormati oleh orang lain, aku seperti magnet tersendiri untuk teman-temanku. energiku bisa membuat teman-temanku mendekat, mengikutiku. Di dalam kelas aku selalu mendapat peringkat tiga besar, tapi aku tidak termasuk orang yang cerdas. Menurutku itu bukan karena aku pintar tetapi karena usiaku lebih tua dari yang lain, sehingga dapat lebih memahami pelajaran yang diberikan guruku.

Sepulang sekolah, seperti hari-hari sebelumnya aku dan kedua adikku menghabiskan waktu hingga sore hari di jalanan, mengamen di lampu merah tepatnya. Kegiatan ini terpaksa aku lakukan untuk membantu keuangan di rumah. Aku tak tega melihat Ibu bekerja membanting tulang sendirian, yang hasilnya tak seberapa. Untuk memenuhi makanan kami setiap hari dengan layak saja masih sangat kurang. Belum lagi jika ditambah keperluan sekolah atau berobat Bapak. Sedih rasanya melihat kondisi ini.

Aku masih terlalu kecil untuk mendapatkan pekerjaan di kantoran memakai seragam seperti harapan banyak orang, dibanggakan oleh keluarganya, ditunggu kehadirannya setiap saat dan setiap waktu. Hari-hariku lalui dengan sangat sederhana, kami terbiasa untuk makan sepiring bertiga dengan lauk seadanya. Bisa makan dua kali sehari saja sudah sangat mewah rasanya.

Awalnya aku merasa malu jika bertemu teman-teman atau guruku ketika sedang mengamen di jalanan. Aku dan kedua Adikku sering langsung lari menghindar, mengumpat di balik bengunan tua atau warung pinggir jalan hanya karena tidak ingin terlihat oleh mereka. tapi itu tak berjalan lama, pada akhirnya semua teman-temanku, semua guruku, dan satu sekolah tahu bahwa setiap siang hingga sore hari aku mengamen di lampu merah. Aku bersyukur semua guruku dan sebagian temanku mau mengerti akan pilihanku, sebagian temanku yang lain masih suka mengejek dan menyindir kalau aku anak orang tidak mampu, anak orang miskin.

Hati ini menangis rasanya ketika ada teman-teman yang mengejek atau mengolok-ngolok walau aku tahu niat mereka hanya bercanda. Tapi apalah daya, tangisanku dan Adik tidak akan mampu mengubah keadaan dan akhirnya waktu juga yang menjawab. Aku semakin kebal dengan ejekan mereka, merekapun mungkin lelah untuk mengejekku. Teman-teman yang lain sering membelaku ketika aku ditertawakan.

Satu hari yang selalu aku ingat adalah ketika Ibu sakit. Kami tidak memiliki uang simpanan sedikitpun. Kami tidak memiliki beras atau makanan untuk dimakan. Aku coba untuk meminjam kepada tetangga tetapi tidak ada yang memberi, aku coba menghubungi kedua Kakakku tapi mereka terlalu sibuk dengan keluarganya. Aku dan Adikku Rina, Rani hanya menangis bersimpuh doa memohon kepada Tuhan agar Ibu sembuh seperti sedia kala sambil menahan rasa lapar di perut kami. Sejak saat itulah aku dan kedua Adikku memutuskan untuk mengamen. Membantu ibu memenuhi kebutuhan sehari-hari, minimalnya untuk jajan kami sendiri atau lebih baik lagi jika bisa kami tabung untuk keperluan sekolah.

Oh ya kedua Kakaku biasanya hanya datang berkunjung ketika hari lebaran tiba. Dua hari yang sangat indah untukku, untuk kami sekeluarga. Beban ini terasa hilang sebagian atau menjadi lebih ringan ketika kedua Kakakku datang. Sayangnya hanya beberapa hari saja mereka ada di rumah. Selebihnya mereka kembali kepada keluarganya masing-masing. Tapi aku tetap bersyukur setidaknya mereka masih mengingat keluarganya di sini. Mereka masih mengingat aku dan Adikku, mereka masih ingat Ibu dan Bapaknya.

Kelas dua SMP aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Sudah tak sanggup lagi rasanya menggapai cita-citaku dengan bersekolah tinggi setinggi-tingginya seperti yang lain. Aku berhenti sekolah, beranji untuk bisa menopang biaya sekolah kedua Adikku. Adikku adalah harapan lain yang harus aku pertahankan. Aku perjuangkan! Aku berjanji dalam hati agar mereka tetap sekolah hingga lulus SMU minimalnya. Aku akan mencari biayanya entah darimana dan bagaimana.

Sejak itu hariku dihabiskan di jalanan, dari pagi hingga petang. Tidak hanya di lampu merah, aku juga sering untuk mengamen di bus. Naik turun naik turun bus entah di mana sampai mana lalu kemana dan akhirnya kembali ke tempatku lagi hal biasa yang aku lalui. Panasnya matahari dan dinginnya hujan semakin membentuk siapa dan untuk apa aku dilahirkan. Alhamdulillah, yang aku niatkan, yang aku doakan setiap hari tidaklah sia-sia. Aku bisa menyekolahkan adikku hingga mereka lulus SMU. Selepas SMU kedua Adikku bekerja di Mall dan Dealer motor. Hanya sebagai SPG tapi itu sudah membuatku bersyukur, karena artinya adikku sudah mampu untuk membiayai hidupnya dan membantu meringankan bebanku atau keluarganya.

Usiaku dua puluh tahun waktu itu, berada di sebuah ruangan kecil. Sebuah petak kost yang diubah menjadi entah tempat apa. Aku duduk diajak temanku Dion mendengarkan ceramah temannya yang lain, yang berdiri dihadapan kami mempromosikan sesuatu yang aku belum mengerti. Ada sekitar delapan orang di sana, sebuah ruangan kecil yang sangat bergemuruh riuh dengan teriakan LUAR BIASA, WAW, DAHSYAT, MANTAP! Dari orang-orang lain yang aku kira sekelompoknya memberikan semangat yang terdengar mengada-ada dan dipaksakan. Hingga selesai ceramah aku dibujuk untuk bergabung dengan kelompok mereka, tapi langsung aku tolak dengan dua alasan. Yang pertama aku tidak memiliki uang untuk membayar atau membeli produk jika bergabung dengan mereka. kedua aku belum terlalu mengerti apa yang harus aku lakukan jika aku bergabung. Hari itu aku kembali ke rumah dengan menolak halus ajakan temanku.

Sampai di rumah fikiranku masih teringat dengan apa yang aku lihat, aku dengar siang tadi. Ada rasa tertarik terbesit masuk dalam jiwaku, membayangkan bonus nominal-nominal angka rupiah benar masuk ke dalam rekeningku sendiri. Indah rasanya! Khayalanku langsung segera aku singkirkan, aku sadar aku bukan orang yang pantas seperti mereka yang mampu, aku hanya orang yang terbiasa kekurangan, aku hanya orang yang harus berpeluh-peluh untuk bertahan.

Seminggu telah berlalu, temanku Dion belum menyerah membujukku. Kali ini ia memintaku datang bersamanya lagi ke sebuah hall hotel mewah di daerahku. Ada acara spesial katanya. Aku menurutinya karena memang selama ini ia sudah telalu banyak membantuku sekaligus masih ada rasa penasaran dalam diriku tentang ajakannya. Ucapannya benar, berada di dalam sebuah hall hotel yang mewah seperti berada di dalam istana raja rasanya. Baru kali ini aku rasakan, baru kali ini aku menginjakan kaki masuk dalam sebuah hotel. Keren rasanya! Suasana jauh lebih bergemuruh, jauh lebih bersemangat dari minggu lalu di petak kost kecil. Di sini semuanya terasa lebih bernyawa. Penuh gairah energi, penuh semangat. Tidak lagi terdengar dipaksakan. Aku perhatikan setiap detail yang mereka katakan di depan gedung. Aku tanyakan kepada diriku sendiri, “Apakah aku bisa? Apakah aku pantas?” pertanyaan itu yang muncul dalam benakku, dan belum kujawab.

Selesai acara Dion memperkenalkan temannya yang lain, leadernya katanya. Seorang lelaki muda dengan jas rapi tampak seperti orang sukses dan berpendidikan tinggi menyapaku ramah. Ia menyakinkanku dengan sungguh-sungguh. Aku menyimak semua ucapannya sesekali aku tanyakan yang belum aku pahami. Sampai ada perkataannya yang mengoyak hatiku, ia benar aku hanya lulusan SD, tidak tamat SMP. Perusahaan atau kantor mana yang mau memperkerjakan aku atau mau menggunakan tenagaku. Pertanyaan lain muncul dalam benakku “ Apakah aku akan selamanya berada di jalanan?, mengharap belas kasih iba orang-orang yang melihatku?” Tidak, aku tidak mau! Ia benar, ini sebuah peluang yang datang, mungkin hanya sekali ini saja. Peluang yang dapat merubah hidupku, atau menghidupkan kembali cita-citaku. Aku bulatkan hati dan tekadku. Aku putuskan untuk bergabung dengan mereka, aku menuruti ajakan temanku Dion. Aku bergabung dengan perusahaan MLM terkenal menurut mereka.

Sejak saat itu kegitanku di jalanan sedikit berkurang, aku harus membagi waktu untuk belajar persentasi materi dan mengajak orang-orang lain bergabung. Membangun sebuah jaring-jaring piramida. Kiri kanan-kanan kiri, hanya dua jaring. Jaring yang akan membuat hidupku lebih berarti. Sayangnya menjalankan sebuah bisnis MLM tidak senikmat membayangkan aliran bonus yang akan masuk ke dalam rekening kita, tidak semudah ucapan leader-leader saat persentasi dan meyakinkan orang dalam acara yang mereka sebut seminar atau OPP (open plan presentation). Semangatku diguncang, kadang hidup kadang redup. Banyak dari orang yang kuajak menutup diri sedari awal dengan yang namanya MLM. Baginya MLM seperti virus berbahaya yang menular dan membuatnya mati. Aku tidak tertarik pekerjaan yang mencari-mencari orang, aku tidak suka tingkatan-tingkatan, aku tidak mau yang di atasku pasti dapat lebih banyak dari bonusku, aku tidak bisa berjualan, aku tidak minat, dll alasan yang paling sering kudengar dari mulut mereka. Dalam hatiku aku berkata "Pekerjaan mana di dunia ini yang tidak mencari atau membutuhkan orang lain? Pekerajaan mana yang tidak ada tingkatan-tingkatan ob, satpam, sales, sepervisor, manager, direktur bukankah semua itu tingkatan? Tentu saja di mana-mana atasan kita selalu mendapat hasil lebih besar dari kita, benarkan?" Tapi akupun tidak bisa memaksa pendirian atau pandangan mereka semua. Kecewa tentu saja kurasakan, tapi aku tidak menyerah. Aku fikir ini adalah satu-satunya peluang terbaik yang bisa aku miliki, aku harus berjuang, bertahan semampuku, mengerahkan seluruh keringat tenagaku!

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, setengah tahun aku jalani. Dari rumah ke rumah, janjian di tempat yang berbeda, membuka obrolan kepada orang yang aku temui di manapun, bahkan orang yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Tindakanku berpacu dengan semangatku yang kembang kempis. Yang aku pegang adalah sebuah kata dengan nama harapan. Aku percaya harapan tidak akan pernah menjauh, menghilang pergi meninggalkan orang-orang yang mempercayainya. Aku percaya itu, selalu percaya!

Hampir dua tahun aku jatuh bangun membangun jaring-jaring kerajaanku. Dengan segala peluh yang aku lewati, dengan segala perih yang aku rasakan, berbagai penolakan hingga hinaan. Kini aku telah menjadi salah satu leader di kotaku. Aku telah merasakan nyatanya bonus yang mengalir ke rekeningku tiap hari. Aku telah bisa membeli kendaraan, dan membangun rumah untuk orang tuaku tinggal. Aku merasa telah menjadi orang yang bisa berarti untuk keluargaku, untuk Ibu dan Bapakku, untuk Adikku, untuk orang lain.

Aku berhasil menggapai cita-citaku, aku bisa hidup lebih baik dari sebelumnya. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang aku miliki, aku tidak menyerah. Aku tidak pernah menyerah. Aku tidak pernah kalah oleh pahit dan kerasnya kehidupan!


Aku yakin kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa, lahir kita adalah takdir yang tidak bisa diubah. Tetapi nasib kita, kita sendiri yang menentukannya. Bukan orang lain! Seperti ayat suci Alquran “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS.ar-Ra’d:11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  GAMBARAN DIRI GURU PENGGERAK TIGA TAHUN KE DEPAN   Jika disederhanakan dalam dua kata saya ingin terus BELAJAR dan BERBAGI.   As...